9.1 C
New York
Friday, March 29, 2024

UU 1/2004 Melanggar Konstitusi dan UUPA

Oleh: Dr.Henry Sinaga, SH, SpN, MKn

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (UU 1/2004), melanggar Konstitusi yaitu Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945).

Selain melanggar Konstitusi juga melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dapat disebut juga dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Pelanggaran Konstitusi dan UUPA, ditemukan dalam Pasal 49 ayat (1) UU 1/2004, yang berbunyi: “Barang milik negara/daerah yang berupa tanah yang dikuasai Pemerintah Pusat/Daerah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah yang bersangkutan.

Pasal 49 ayat 1 UU 1/2004, mengandung arti bahwa Negara (dalam hal ini pemerintah pusat/pemerintah daerah) diperbolehkan memiliki atau mempunyai Hak Milik atas tanah, dan Pasal ini memerintahkan agar Hak Milik atas tanah tersebut disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/Pemerintah Daerah padahal Konstitusi dan UUPA, menegaskan bahwa Negara hanya menguasai bukan memiliki tanah.

Pasal 33 ayat 3 UUDNRI Tahun 1945 berbunyi : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat 1 UUPA antara lain dikatakan atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Pasal 33 ayat 3 UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 2 ayat 1 UUPA secara jelas dan tegas menyatakan bahwa negara / pemerintah bukan sebagai pemilik tanah di Indonesia. Negara / pemerintah hanya “menguasai” bukan “memiliki”.

Secara historis, konsepsi negara / pemerintah sebagai pemilik tanah adalah konsepsi negara feodal dari zaman abad pertengahan, sebagai contoh konsepsi hukum tanah Inggris dan bekas negara-negara jajahannya. Dalam konsepsi feodal ini semua tanah adalah milik Raja dan siapapun hanya menguasai dan menggunakan tanah milik Raja sebagai penyewa.

Konsepsi negara / pemerintah sebagai pemilik tanah dijumpai juga dalam konsepsi hukum tanah di Rusia, yang mulai diterapkan setelah golongan komunis berhasil merebut kekuasaan pemerintahan pada tahun 1917.

Di Indonesia konsepsi negara / pemerintah sebagai pemilik tanah, juga pernah diterapkan pada zaman kolonial Belanda. Dalam sistem kepemilikan tanah Pemerintah Kolonial Belanda memberlakukan ketentuan atau prinsip atau azas domein (hak milik negara atas tanah) yang memposisikan negara atau pemerintah sebagai pemilik tanah.

Azas domein ini tercantum dalam Pasal 1 Agrarisch Besluit, Staatblad 1870 No. 118, yang antara lain menyatakan bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan siapa pemiliknya adalah domein (milik) negara (domein verklaring).

Negara Republik Indonesia bukan negara yang berkonsepsi feodal dan juga bukan negara yang berkonsepsi komunis, oleh karena itu azas domein ini oleh UUPA telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, dengan pertimbangan bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 tidak perlu dan tidak pada tempatnya, Negara bertindak sebagai pemilik tanah.

Adalah lebih tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA yang menyatakan, bahwa “Bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”.

Sesuai dengan pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini menurut UUPA bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan yang tertinggi :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Hak Menguasai Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ini meliputi semua bumi, air, dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki oleh seseorang maupun tidak (menurut UUPA, pengertian bumi diperinci lagi meliputi permukaan bumi, tubuh bumi dan bumi yang di bawah air beserta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Permukaan bumi inilah yang menurut UUPA disebut dengan tanah).

Hak Menguasai Negara (bukan Hak Memiliki Negara) yang dipegang oleh negara/pemerintah berdasarkan UUPA adalah seperangkat wewenang, tidak lebih dari itu, karena itu pemahaman bahwa negara / pemerintah adalah pemilik atas tanah di Indonesia adalah kekeliruan dan pelanggaran terhadap Konstitusi dan UUPA.

Dalam pada itu menurut UUPA dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah (PP 40/1996), jika negara/ pemerintah memerlukan tanah untuk digunakan sehubungan pelaksanaan tugasnya (tugas kenegaraan/tugas pemerintahan), maka negara/pemerintah dapat diberikan Hak Pakai atas tanah tanpa jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, bukan dengan pemberian Hak Milik atas tanah. Sejalan dengan itu UUPA juga melarang negara/pemerintah untuk menyewakan tanah karena negara/pemerintah bukan pemilik tanah.

Sebaiknya UU 1/2004 segera direvisi untuk menghindari kesan bahwa Negara Republik Indonesia telah kembali ke zaman kolonial Belanda, atau untuk menghindari pemahaman yang keliru bahwa sistem kepemilikan tanah di Indonesia menganut paham konsepsi feodal atau komunis.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU–Medan

Related Articles

Latest Articles