7.5 C
New York
Friday, April 19, 2024

Tradisi Mandi Pangir Sambut Puasa Ramadhan, Apakah Haram?

Medan, MISTAR.ID

Mandi pangir merupakan tradisi bagi masyarakat Sumatera Utara dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Konon tradisi mandi pangir sudah ada sejak masyarakat belum mengenal agama. Hingga kini sebagian besar masyarakat masih mempraktekkan mandi tersebut dengan tujuan menyambut bulan Ramadhan. Adapun nilai nilai yang disampaikan untuk menyucikan diri menyambut hari Ramadhan.

Untuk di ketahui, Mandi pangir adalah mandi dengan rempah-rempah yang terdiri dari bunga pinang, daun pandan, sereh wangi, jeruk purut, daun jeruk.
Jenis rempah itu menghasilkan aroma wangi apalagi setelah dimasak.

Tradisi mandi pangir menyambur Ramadhan tak hanya di Sumatera Utara saja , di kalangan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur ada tradisi yang disebut “Padusan”. Biasanya 1-2 hari menjelang bulan puasa mereka mandi bersama di mata air, sungai, telaga, dan lokasi-lokasi lain. Sebagian ada yang menggunakan rempah-rempah alami atau herbal wewangian. Dimaksudkan untuk membersihkan diri secara jasmani maupun rohani. Sehingga saat memasuki Ramadhan dalam keadaan suci dan bersih.

Baca juga:Mengenal Tradisi Songgot-songgot Di Budaya Batak

Masyarakat Minang juga memiliki ritual “Balimau” yaitu tradisi mandi khusus sebelum bulan puasa. Menggunakan jeruk nipis atau limau untuk membersihkan diri.

Dikutip dari Republika, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Mahbub Maafi mengatakan, ragam mandi yang terdapat di Indonesia guna menyambut Ramadhan adalah tradisi lokal yang baik. Sebab mandi sendiri dalam Islam merupakan sebuah kebaikan karena terdapat unsur kebersihan di dalamnya.

Namun demikian pihaknya menekankan, sejauh ini tidak ada dalil khusus yang menganjurkan umat Islam untuk melakukan tradisi lokal itu dalam syariat agama.

“Secara pribadi saya belum menemukan dalil anjuran tentang itu, menyambut Ramadhan (dengan) mandi, enggak ada. Kalau sunah setiap malam sepanjang Ramadhan itu mandi, itu benar. Mulai Maghrib sampai Fajar dianjurkan,” kata KH Mahbub, Kamis (8/4/23).

Namun demikian ia mengingatkan agar tradisi tersebut jangan sampai keluar dari kebiasaan kecuali yang diharamkan. tradisi yang baik tersebut bisa saja tidak boleh dilakukan apabila di dalamnya mengandung kerusakan. Atau beresiko merusak ibadah lainnya. Misalnya, apabila mensakralkan suatu tempat mandi tertentu yang beresiko syirik, atau mandi bersama antara laki-laki dengan perempuan dalam satu tempat.

“Ikhtilatnya yang tidak boleh,” kata dia.

Di lain pihak, Ustaz Abdul Somad pun mengutarakan pendapatnya mengenai mandi yang berciri khas tradisi lokal. Ia mengimbau kepada masyarakat di negeri Swarnadwipa (Sumatera Barat) untuk tidak melakukan tradisi mandi balimau.

Baca juga:Penenun Samosir Ikuti Pelatihan Cara Mewarnai Ulos Secara Alami

Mandi yang dilakukan di sungai secara beramai-ramai itu dianggap sebagai tradisi mandi yang lebih banyak mengundang mudharat dibanding nilai ibadahnya. Mandi balimau yang memiliki akar sejarah tentang mandi taubat itu sebetulnya, kata dia, telah mengalami pergerseran pemaknaan dalam realitanya.

Sehingga mandi yang biasanya dilakukan di tepian sungai dan danau itu kerap didatangi orang-orang tanpa memedulikan jenis kelaminnya. Sehingga resiko bercampurnya laki-laki dengan perempuan dalam satu wadah permandian dinilai dapat mengundang mudharat bagi yang melaksanakan. Dia pun mengimbau kepada masyarakat setempat bila hendak mandi taubat untuk melakukannya dari rumah masing-masing. (rika/hm06)

 

Related Articles

Latest Articles