22.1 C
New York
Monday, April 29, 2024

Perempuan dalam Affirmative Action di Ranah Politik

Penulis: Rika Suartiningsih

Akhir-akhir ini kita kembali diramekan oleh teriakan perempuan yang merasa keterwakilannya di ranah politik kian tersingkirkan tanpa ampun. Bukan tidak beralasan, proses pemilihan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada 2023 di Sumatera Utara yang begitu sengit berakhir tanpa satu pun perempuan yang bisa duduk dari 7 yang lulus seleksi oleh Bawaslu RI.

Tragiskah? Mungkin saja ya, karena proses seleksi Bawaslu Sumut sempat ditunda karena keterwakilan perempuan yang ikut seleksi tidak mencapai 30%. Bagi kacamata orang awam ini dianggap biasa saja yang tidak memahami Affirmative action yang ketika reformasi semangat itu begitu menggema.

Tindakan afirmatif adalah tindakan khusus sementara dalam kesetaraan dan keadilan gender bagi perempuan dalam arena politik, mengingat ketertinggalan perempuan dalam mengisi dan mengambil kesempatan dalam bidang politik masih sangat jauh dari harapan.

Tidak adanya keterwakilan perempuan dalam seleksi Bawaslu juga terjadi di provinsi lain seperti Lampung. Empat anggota Bawaslu Lampung periode 2023-2028 semuanya laki-laki. Bisa jadi ini juga terjadi di sejumlah provinsi lainnya. Merujuk pada periode sebelumnya di tahun 2019, Bawaslu seluruh Propinsi di Indonesia juga tidak memenuhi kuota 30%. Dari total 188 orang anggota Bawaslu di 34 provinsi, 41 orang di antaranya atau hanya sebanyak 22 %.

Baca juga:Tak Ada Keterwakilan Perempuan di KPU Sumut, Begini Tanggapan Pengamat Politik

Ternyata tidak saja di Bawaslu, hal yang tidak jauh berbeda adalah seleksi Komisi Pemilihan Umum (KPU). Di Propinsi Sumatera Utara, lagi-lagi keterwakilan perempuan tidak ada. Dari 7 anggota KPU Sumut yang terpilih ditetapkan oleh Ketua KPU RI Hasyim Asy’ari pada Kamis (21/9) kemarin tidak ada satupun terdapat perempuan.

Padahal, Pasal 92 Ayat 11 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan, Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30% (tiga puluh persen).  Dan  Pasal 6 ayat (5) UU Penyelenggara Pemilihan Umum Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen).

Mengapa saya bilang tragis? Karena pada faktanya afirmatif action untuk ranah politik hal itu tidak berlangsung. Karena ketika memperjuangkannya hingga ke persidangan pun agaknya perempuan tetap terkalahkan oleh argument yang tidak kuat dalam Undang-undang pemilu tersebut. Kita dikunci oleh kata “Memperhatikan keterwakilan perempuan,” betapa ampuhnya kita kala itu, karena afirmatif action cuma pil penenang agar perempuan senang meskipun sesaat. Dan Mahkamah Konstitusi pernah memutuskan hal tersebut, bahwa  ketentuan keterwakilan perempuan dalam Undang-Undang Penyelenggara Pemilu tidak  beralasan menurut hukum.

Related Articles

Latest Articles