Ketimpangan Penegakan Hukum: Antara Penunggak Pajak dan Koruptor


Ilustrasi. (f: tempo/mistar)
Oleh: Pangihutan Sinaga, Wartawan Harian Mistar & Mistar.id
Di berbagai daerah, razia kendaraan bermotor yang menunggak pajak semakin marak dilakukan. Pemerintah daerah melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) dan kepolisian, sering menggelar operasi yang menyasar pemilik kendaraan yang belum melunasi kewajibannya. Dalam operasi tersebut, kendaraan dengan pajak menunggak bisa langsung ditahan atau bahkan disita jika pemiliknya tidak segera membayar.
Langkah ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menindak penunggak pajak kendaraan. Pasal 97 UU 28/2009 menyatakan bahwa pajak kendaraan bermotor adalah kewajiban yang harus dipenuhi setiap pemilik kendaraan. Jika pajak tidak dibayar dalam jangka waktu tertentu, pemerintah berhak memberlakukan sanksi administratif, termasuk penyitaan aset.
Selain itu, beberapa Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur memperkuat mekanisme penagihan pajak kendaraan. Di beberapa daerah, pemilik kendaraan yang menunggak pajak lebih dari dua tahun dapat dikenakan tindakan tegas, seperti pencabutan registrasi kendaraan atau pelelangan kendaraan jika tunggakan tidak segera dilunasi.
Namun, penegakan aturan ini sering kali menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa negara begitu agresif menindak rakyat kecil yang menunggak pajak kendaraan, sementara di sisi lain, aset koruptor yang jelas-jelas merugikan negara dalam jumlah besar justru tidak dirampas?
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU 20 Tahun 2001, memberikan dasar hukum yang kuat untuk penyitaan aset koruptor. Pasal 18 ayat (1) UU ini menyatakan bahwa pelaku korupsi dapat dikenai pidana tambahan berupa perampasan aset yang diperoleh dari tindak pidana. Namun, dalam praktiknya, perampasan aset koruptor tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Banyak terpidana korupsi yang sudah divonis bersalah, tetapi aset mereka tidak seluruhnya disita. Bahkan, ada kasus di mana aset yang seharusnya dirampas justru dikembalikan kepada koruptor atau keluarganya dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.
Perbedaan perlakuan ini jelas menunjukkan ketimpangan dalam penegakan hukum. Rakyat kecil yang terlambat membayar pajak kendaraan langsung diancam dengan penyitaan, sementara koruptor yang menggelapkan uang negara dalam jumlah besar masih bisa menikmati hasil kejahatannya. Inikah yang dinamakan keadilan?
Ironisnya, masyarakat yang terkena razia pajak kendaraan sering kali tidak memiliki pilihan lain. Bagi sebagian besar rakyat kecil, keterlambatan membayar pajak bukanlah kesengajaan, melainkan akibat kesulitan ekonomi. Dalam situasi ini, mereka justru semakin terbebani dengan ancaman penyitaan kendaraan yang menjadi alat transportasi utama untuk mencari nafkah.
Di sisi lain, banyak koruptor yang hidup mewah meskipun sudah divonis bersalah. Mereka masih bisa menikmati hasil kejahatan mereka melalui aset yang belum tersentuh oleh hukum, atau bahkan melalui celah hukum yang memungkinkan mereka tetap mempertahankan sebagian besar harta mereka.
Kasus-kasus semacam ini menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia masih berpihak pada mereka yang memiliki kuasa dan uang. Rakyat kecil yang kesulitan membayar pajak langsung dijerat dengan ancaman penyitaan, sementara para koruptor bisa berkelit dengan berbagai dalih hukum.
Seharusnya, negara bersikap adil dalam menegakkan hukum. Jika negara bisa dengan cepat merampas aset penunggak pajak kendaraan, maka seharusnya negara juga bisa lebih tegas dalam menyita aset hasil korupsi. Tidak ada alasan bagi negara untuk berlaku tebang pilih dalam penegakan hukum.
Pemerintah harus memastikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan secara adil dan tidak hanya menyasar mereka yang lemah. Jangan sampai hukum hanya menjadi alat untuk menekan rakyat kecil, sementara para penguasa dan koruptor tetap bisa hidup nyaman tanpa konsekuensi yang berarti.
Jika negara serius dalam menegakkan keadilan, maka perampasan aset harus dilakukan tanpa pandang bulu. Tidak boleh ada perlakuan istimewa bagi koruptor, sementara rakyat kecil terus ditekan dengan ancaman penyitaan hanya karena mereka mengalami kesulitan ekonomi.
Selain itu, perlu ada reformasi dalam sistem penegakan hukum, khususnya dalam hal penyitaan aset. Mekanisme perampasan aset harus diperbaiki agar tidak hanya efektif terhadap penunggak pajak kendaraan, tetapi juga terhadap para koruptor yang merugikan negara.
Pengawasan terhadap aparat penegak hukum juga harus diperketat. Jangan sampai ada permainan di balik layar yang membuat koruptor bisa lolos dari hukuman yang seharusnya mereka terima. Jika aparat hukum sendiri tidak bisa dipercaya, maka keadilan akan semakin sulit ditegakkan.
Masyarakat juga harus lebih kritis terhadap kebijakan pemerintah dalam hal penegakan hukum. Jangan hanya diam ketika melihat ketimpangan seperti ini terjadi. Suara publik harus terus didengar agar pemerintah tidak seenaknya menerapkan hukum yang hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Di beberapa negara maju, perampasan aset hasil korupsi dilakukan dengan sangat tegas. Bahkan, ada mekanisme yang memungkinkan negara untuk langsung menyita aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi, tanpa harus menunggu proses hukum yang panjang.
Indonesia seharusnya bisa belajar dari negara-negara tersebut. Jika pemerintah benar-benar memiliki komitmen untuk memberantas korupsi, maka mekanisme perampasan aset harus lebih diperkuat dan dijalankan dengan konsisten.
Tanpa langkah yang tegas dan adil, kepercayaan masyarakat terhadap hukum akan semakin terkikis. Jika rakyat kecil terus-menerus menjadi korban ketidakadilan, maka bukan tidak mungkin mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah dan sistem hukum yang ada.
Pada akhirnya, negara ini harus memutuskan: apakah hukum akan benar-benar ditegakkan secara adil, ataukah hukum hanya akan menjadi alat untuk menekan yang lemah dan melindungi yang kuat? Jika pemerintah terus membiarkan ketimpangan ini terjadi, maka keadilan akan selamanya menjadi mimpi yang sulit diwujudkan.*
PREVIOUS ARTICLE
Seberapa Penting Revisi UU TNI?