9.4 C
New York
Friday, March 29, 2024

Peraturan Kepala BPN 8/2012 Melanggar UUJN

Oleh: Dr.Henry Sinaga, SH,Sp.N,M.Kn

Tulisan ini dibuat untuk memberikan tanggapan atas terbitnya Surat Pemberitahuan dari seorang Kepala Kantor Pertanahan baru-baru ini, yang ditujukan kepada seluruh Notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) daerah kerja Kantor Pertanahan yang bersangkutan, terkait pembuatan Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Akta SKMHT) yang dilakukan oleh Notaris.

SKMHT adalah pemberian kuasa yang dilakukan oleh Pemberi Hak Tanggungan (pemilik jaminan yang berupa hak atas tanah) untuk melakukan perbuatan hukum dalam rangka membebankan Hak Tanggungan pada hak atas tanah.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT), yang dimaksud dengan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Selanjutnya menurut UUHT, SKMHT wajib dibuat dengan Akta Notaris atau Akta PPAT. Pelaksanaan UUHT terkait Akta SKMHT ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang telah dirubah oleh Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (Per.Ka.BPN 8/2012).

Surat Pemberitahuan Kepala Kantor Pertanahan tersebut di atas pada intinya meminta kepada seluruh Notaris dan atau PPAT setempat agar dalam melaksanakan tugasnya dalam pembuatan Akta SKMHT mengacu kepada Per.Ka.BPN 8/2012, khususnya pada Lampiran VIII Per.Ka.BPN 8/2012, yang mengatur tentang Bentuk dan Tatacara Pembuatan Akta SKMHT yang dilakukan oleh PPAT dan atau Notaris.

Lampiran VIII Per.Ka.BPN 8/2012 tersebut antara lain mengatur dan menentukan bahwa bentuk dan tatacara pembuatan Akta SKMHT yang dilakukan oleh PPAT sama persis dengan bentuk dan tatacara pembuatan Akta SKMHT yang dilakukan oleh Notaris, ini sama artinya bahwa Per.Ka.BPN 8/2012 mengatur bentuk dan tatacara pembuatan Akta PPAT sama dengan bentuk dan tatacara pembuatan Akta Notaris, padahal jabatan PPAT dan jabatan Notaris adalah 2 (dua) jabatan yang berbeda, dan pengaturan jabatan (termasuk pengaturan mengenai bentuk dan tatacara pembuatan akta) atas kedua jabatan itu juga berbeda.

Pengaturan mengenai jabatan PPAT diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PJPPAT), dan pengaturan mengenai bentuk dan tatacara pembuatan Akta-Akta PPAT diatur dalam Per.Ka.BPN 8/2012 beserta Lampiran-lampirannya.

Sementara itu pengaturan tentang jabatan Notaris dan pengaturan mengenai bentuk dan tatacara pembuatan Akta-Akta Notaris diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN).

Per.Ka.BPN 8/2012 ini nyata-nyata telah melanggar dan bertentangan dengan UUJN, karena Per.Ka.BPN 8/2012 mengatur tentang bentuk dan tatacara pembuatan Akta Notaris (Akta SKMHT), yang bukan kewenangannya.

Sesungguhnya Per.Ka.BPN 8/2012 hanya berwenang mengatur tentang bentuk dan tatacara pembuatan Akta-Akta PPAT termasuk SKMHT yang dibuat oleh PPAT dan tidak berwenang mengatur tentang bentuk dan tatacara pembuatan Akta SKMHT yang dibuat oleh Notaris, karena bentuk dan tatacara pembuatan Akta-Akta Notaris sudah diatur dalam UUJN, atau dengan perkataan lain bentuk dan tatacara pembuatan Akta SKMHT yang dibuat oleh Notaris seharusnya tunduk pada aturan UUJN bukan tunduk kepada aturan Per.Ka.BPN 8/2012.

UUJN sudah mengatur tentang bentuk dan tatacara pembuatan Akta-Akta Notaris dan pelanggaran terhadap pengaturan UUJN tentang bentuk dan tatacara pembuatan Akta-Akta Notaris dapat dikenai sanksi baik terhadap Notaris maupun terhadap Akta yang dibuatnya.

Sebenarnya pelanggaran dan pertentangan Per.Ka.BPN 8/2012 terhadap UUJN ini tidak boleh terjadi, karena secara normatif dan filosofis suatu norma yang kedudukan atau posisinya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan norma yang kedudukannya lebih tinggi.

Menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (UU 12/2011) Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hirarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan di Indonesia, adalah sebagai berikut :

1.Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3.Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4.Peraturan Pemerintah;
5.Peraturan Presiden; dan
6.Peraturan Daerah Provinsi;
7.Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Selanjutnya menurut Penjelasan Pasal 7 ayat 2 UU 12/2011, disebutkan pula bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Meskipun tidak tercantum dalam hirarki UU 12/2011, sebenarnya kedudukan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional, berada di bawah atau lebih rendah dari Undang-Undang, dengan demikian seharusnya menurut UU 12/2011, Per.Ka.BPN 8/2012 tidak boleh bertentangan dengan UUJN.

Untuk mencegah agar tidak terjadi persoalan hukum terhadap Akta SKMHT yang dibuat Notaris karena melanggar bentuk dan tatacara pembuatan Akta Notaris yang diatur oleh UUJN, maka sebaiknya Per.Ka.BPN 8/2012 segera direvisi.

Sambil menunggu revisi Per.Ka.BPN 8/2012, sebaiknya para Kepala Kantor Pertanahan tidak meminta kepada para Notaris untuk mematuhi Per.Ka.BPN 8/2012 terkait pembuatan Akta SKMHT yang dibuat Notaris, dan tidak pula menolak pendaftaran hak tanggungan yang didasarkan pada SKMHT Notaris yang dibuat dengan menggunakan bentuk dan tatacara pembuatan Akta Notaris menurut UUJN.

Penulis adalah Notaris/PPAT dan Dosen Program Studi Magister Kenotariatan USU–Medan

Related Articles

Latest Articles