Wednesday, May 28, 2025
home_banner_first
EKONOMI

PT Maruwa Indonesia Batam Bangkrut, Gaji Ratusan Karyawan Tak Kunjung Dibayar

journalist-avatar-top
Senin, 26 Mei 2025 10.02
pt_maruwa_indonesia_batam_bangkrut_gaji_ratusan_karyawan_tak_kunjung_dibayar

Potret PT Maruwa Indonesia di Tanjunguncang Kota Batam, tak ada aktivitas pekerja, Sabtu (24/5/2025). Perusahaan ini menghentikan aktivitasnya dan berdampak ke ratusan karyawan yang belum mendapatkan hak-haknya. (f: ist/mistar)

news_banner

Batam, MISTAR.ID

PT Maruwa Indonesia, perusahaan asal Jepang yang beroperasi di kawasan Tanjunguncang, Batam, Kepulauan Riau, resmi dinyatakan bangkrut. Namun, nasib 205 karyawan perusahaan tersebut hingga kini masih terkatung-katung, lantaran gaji dan pesangon mereka belum dibayarkan.

Perusahaan yang berdiri sejak 1999 dan bergerak di bidang Flexible Printed Circuit (FPC) ini mendadak menghentikan operasionalnya sejak awal April 2025. Ratusan pekerja pun dirumahkan tanpa surat resmi atau penjelasan tertulis.

Situasi semakin memanas saat terjadi aksi protes, Jumat (23/5/2025), ketika para karyawan mengepung seorang pria berkemeja putih yang diduga merupakan petinggi perusahaan. Aksi tersebut terekam dan viral di media sosial.

"Bayar gaji kami! Bayar pakai uang, bukan pakai daun!" teriak para karyawan dalam sebuah video yang beredar luas.

Dari total pekerja, sebanyak 49 merupakan karyawan tetap dan 156 berstatus kontrak. Hingga kini, mereka masih belum mendapatkan kejelasan mengenai hak-hak mereka.

Kepala Bidang Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Batam, Amuri, menyebut pihaknya telah melakukan tiga kali mediasi antara karyawan dan perusahaan. Namun, seluruh proses tersebut belum membuahkan hasil.

“Hasilnya masih ngambang karena owner perusahaan sudah menyerahkan urusan ke likuidator. Semua aset dan proses pembayaran, termasuk utang-piutang, kini berada di tangan likuidator,” kata Amuri.

Amuri menegaskan, secara etika dan hukum, kewajiban terhadap karyawan seharusnya diselesaikan terlebih dahulu sebelum aset dialihkan kepada negara atau dijual melalui lelang.

“Seyogianya hak-hak karyawan dibayarkan dulu—seperti gaji dan pesangon—baru aset dilelang atau diserahkan dalam proses kepailitan,” ujarnya.

Namun, proses menjadi rumit karena pihak perusahaan dinilai tidak menunjukkan itikad baik, serta komunikasi terkendala perbedaan bahasa, lantaran beberapa penjelasan disampaikan langsung dalam bahasa Jepang.

Amuri mengungkapkan total kewajiban perusahaan terhadap para karyawan diperkirakan mencapai Rp12 miliar, sementara nilai aset yang tersedia hanya sekitar Rp1,5 hingga Rp2 miliar. Hal ini membuat penyelesaian hak pekerja semakin sulit.

“Kalau dilihat dari nilainya, kewajiban perusahaan terlalu besar dibanding aset yang tersedia. Itu sebabnya kami menilai mediasi sudah mengalami deadlock,” ucapnya.

Amuri menambahkan, hingga saat ini tidak ada jaminan dari pihak perusahaan, baik dari kantor pusat di Jepang maupun dari pihak manajemen lokal, untuk memenuhi hak-hak karyawan. “Mereka bilang tidak punya uang, menyatakan pailit dan merugi. Jadi posisi kami serba sulit,” ujarnya.

Terkait hak-hak 205 karyawan yang belum terpenuhi, Amuri menegaskan bahwa Disnaker hanya berwenang memfasilitasi mediasi antara pihak perusahaan dan pekerja. “Kami tetap berupaya, tapi keputusan akhir ada di perusahaan dan likuidator. Kalau tidak ada niat baik, tidak banyak yang bisa kami lakukan,” tuturnya. (mtr/hm24)

REPORTER:

BERITA TERPOPULER

BERITA PILIHAN