12.6 C
New York
Friday, April 26, 2024

Waspada! Jatim Terancam Kekeringan dan Alami Kemarau Lebih Awal

Surabaya, MISTAR.ID

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau 2023 akan tiba lebih awal terjadi di Jawa Timur ketimbang daerah lain.

Kepala Kelompok Unit Prakirawan BMKG Maritim Tanjung Perak Surabaya Ady Hermanto mengatakan hal itu karena fenomena El Nino.

El Nino merupakan pemanasan Suhu Muka Laut (SML) di atas kondisi normal yang terjadi di Samudera Pasifik bagian tengah. Dampak El Nino adalah berkurangnya curah hujan yang akhirnya memicu kekeringan.

Baca juga:Eropa di Ambang Malapetaka, Krisis Energi dan Ancaman Kekeringan

“Sehingga kemarau akan lebih kering dibanding tahun-tahun biasanya,” kata Ady, dalam keterangannya, Rabu (8/3).

Menurut dia, El Nino membuat musim kemarau lebih awal terjadi di Jatim, yakni pada April. Selain Jatim, wilayah yang juga terdampak adalah Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT). Daerah-daerah lainnya menyusul kemudian.

Ady pun menyarankan masyarakat Jatim menghemat penggunaan air karena puncak musim kemarau diprediksi pada Agustus 2023.

“El Nino terjadi sekitar semester kedua tahun ini, mulai untuk berhemat air,” ucapnya.

Ia juga menyebut fenomena El Nino membuat suhu udara diperkirakan mencapai 33-34 derajat celcius.

Selain menghemat penggunaan air, BMKG mengimbau masyarakat harus memperhatikan kondisi kesehatannya, di masa peralihan musim.

“Selalu menjaga kesehatan di masa peralihan musim ini dan tetap selalu mengupdate informasi cuaca yang disampaikan oleh BMKG,” pungkasnya.

Sebelumnya, Dwikorita Karnawati, Kepala BMKG, mengungkap sebagian besar wilayah akan mengalami musim kemarau lebih awal dari biasanya tahun ini.

“Musim kemarau 2023 di Indonesia maju ada 289 zona musim atau 41,34 persen zona musim mengalami musim kemarau,” ujar dia, dalam konferensi pers daring, Senin (6/3).

“Wilayah yang awal kemarau nya diprediksi maju yaitu sebagian wilayah Sumatera Utara, sebagian Jawa, sebagian kecil Bali, sebagian Nusa Tenggara, sebagian Kalimantan, dan sebagian Sulawesi,” imbuhnya.

Menurutnya, 29 persen wilayah atau 200 zona musim akan mengalami musim kemarau pada waktu yang normal. Selain itu, ada juga 95 zona atau sekitar 13,6 persen wilayah yang waktu musim kemaraunya mundur.

Baca juga:Gawat! Chile Bakal Jatah Air Saat Kekeringan Capai Rekor 13 Tahun

Acuan normal sendiri mengacu pada musim kemarau periode 1991 hingga 2020.

Terkait fenomena cuaca ekstrem ini, para pakar sepakat bahwa itu terkait dengan kondisi Bumi yang makin panas. Pemicunya adalah peningkatan kadar gas rumah kaca (karbon dioksida, nitrogen dioksida, metana, dan freon) di atmosfer.

Gas-gas ini intinya memerangkap panas Matahari agar tak memantul ke luar angkasa. Dalam kondisi lingkungan normal, keberadaan gas ini diperlukan untuk membuat Bumi hangat.

Saat kadarnya berlebih, termasuk akibat emisi karbon dari kendaraan bermotor dan industri, gas-gas ini memicu peningkatan panas secara global hingga memicu perubahan iklim.

Efeknya adalah siklus hidrologi yang berubah yang membuat cuaca lebih ekstrem, musim hujan makin basah, musim kemarau makin kering, serta bencana alam makin banyak. (cnn/hm06)

Related Articles

Latest Articles