10.4 C
New York
Saturday, April 20, 2024

Baca Sejumlah Alasan Desak DPR Hentikan Bahas RUU Kesehatan

Jakarta, MISTAR ID

Sebanyak 5 organisasi profesi kesehatan di Indonesia menggelar aksi demo di depan Gedung DPR/MPR, Jakarta, Senin (5/6/23).

Mereka mendesak DPR segera menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan omnibus law, karena masih banyak substansi yang tidak atau belum masuk.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Adib Khumaidi membeberkan sejumlah alasan mengapa pihaknya menolak RUU tersebut.

Baca juga: GSBI dan FSP RTMM-SPSI Tolak RUU Kesehatan, Pasal 154 Dinilai Bermasalah

1. Tanpa Kepastian Hukum Organisasi Profesi

Dinilai RUU Kesehatan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum terkait organisasi keprofesian baik kedokteran, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan dan apoteker. Pasalnya, ada 9 Undang-Undang (UU) yang terkait keprofesian dan kesehatan dihilangkan.

Yakni, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Kesehatan Menular, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU Nomor 36 Tahun 2004 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Kebidanan.

Menurut Adi, penghapusan UU yang secara khusus atau lex specialis mengatur tentang keprofesian itu akan berdampak pada kepastian hukum profesi. Dia menilai, RUU itu belum bisa menjamin perlindungan dan kepastian hukum tenaga medis atau kesehatan.

Hal senada disampaikan Ketua Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Emi Nurjasmi. Dia menuturkan, muatan RUU itu tidak memberikan kepastian terkait kontrak kerja bagi tenaga medis dan kesehatan.

Baca juga: Tolak RUU Kesehatan, Dokter dan Nakes Ancam Mogok Kerja Skala Nasional

“Belum tampak perbaikan dari perlindungan (hukum) bagi tenaga medis dan kesehatan dalam hal kontrak kerja, sebagaimana UU existing yang seharusnya cukup dibuat peraturan perundang-undangan pada tingkat di bawahnya yang lebih spesifik,” tandasnya.

2. Penghapusan Pembiayaan Tenaga Kesehatan

Adib menganggap, RUU itu telah menghapuskan anggaran pembiayaan tenaga kesehatan (nakes) yang sebelumnya sebesar 10 persen tertuang dalam APBN dan APBD.

“Berkaitan dengan mandatory spending (pembiayaan oleh negara) anggaran yang sebelumnya ada di kesehatan, sudah diusulkan di RUU yang dibuat badan legislatif (baleg), 10 persen untuk APBN dan APBD, namun dihilangkan pemerintah,” kata Adib.

3. Penyusunan Tak Transparan

Baca juga: Dianggap Bermasalah, IDI Siantar-Simalungun Minta DPR Stop Bahas RUU Kesehatan

Sementara Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadhillah menyebutkan, dalam proses penyusunan hingga pembahasan RUU Kesehatan, kelima organisasi profesi sebagai pemangku kepentingan (stakeholder) tidak dilibatkan dan cenderung tak didengar.

“Seruan para tenaga medis dan kesehatan akan RUU Kesehatan seperti angin lalu bagi pemerintah. Ini sebagaimana terjadi sebelumnya dalam pembuatan UU Cipta Kerja yang tidak transparan,” ujarnya.

4. Risiko Impor Nakes Asing

Di pasal 235 RUU Kesehatan disebut memperbolehkan dokter asing untuk berkarya di rumah sakit Indonesia.

Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Usman Sumantri menilai ‘impor’ nakes asing dapat berisiko terhadap pelayanan kesehatan masyarakat. Dia mengatakan, seharusnya pemerintah lebih mengutamakan tenaga kesehatan dalam negeri demi pemerataan pelayanan kesehatan.

Baca juga: Peran Dikebiri, 5 Organisasi Profesi Kesehatan Medan Kirim Massa Menolak RUU Kesehatan

“Pemerataan pelayanan kesehatan dapat dicapai dengan mengoptimalkan peran dan kemampuan dari tenaga medis dan kesehatan di Indonesia. Perlu dipertimbangkan apakah pemanfaatan tenaga medis dan kesehatan warga negara asing lulusan luar negeri misalnya dalam kemudahan perizinan dan mengikuti pendidikan spesialis di Indonesia tidak akan membawa dampak negatif,” imbuhnya.

5. Aborsi Diperbolehkan 14 Minggu

Lebih lanjut Adib mengatakan, pasal terkait aborsi dalam RUU Kesehatan dapat berpotensi meningkatkan angka kematian. Sebelumnya, pasal aborsi mengatur maksimal 8 minggu. Akan tetapi, dalam RUU ini aborsi diperbolehkan hingga 14 minggu.

“Berkaitan dengan kepentingan rakyat. Beberapa hal belum menjadi perhatian, aborsi yang 14 minggu, bukan tak mungkin akan meningkatkan angka kematian ibu,” ujarnya.

6. Pembahasan Terkesan Dikebut

Baca juga: ARSSI Sumut Nilai RUU Kesehatan Terkesan Terburu-buru

Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Beni Satria menilai, pembahasan RUU Kesehatan terkesan terburu-buru untuk disahkan.

“Draf itu kalau teman-teman ingat, baru dideklarasikan ini adalah inisiatif pemerintah di bulan Februari. Sekarang sudah di bulan Juni, kenapa ingin dipaksakan di bulan Juli,” paparnya. (cnnindonesia/hm16)

Related Articles

Latest Articles