7.4 C
New York
Thursday, April 25, 2024

Ahli BRIN: Potensi Awal Ramadhan Serentak, Lebaran Berbeda

Jakarta, MISTAR.ID

Awal Ramadhan dan Lebaran kerap berbeda antara Pemerintah dengan sejumlah ormas keagamaan besar. Hal ini terkait dengan perbedaan kriteria dalam metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) bulan baru kamariah.

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap bahwa potensi awal bulan Ramadhan akan serentak dilaksanakan ummat muslim, hal ini berdasarkan pertimbangan ilmu astronomi.

Muhammadiyah menggunakan kriteria Wujudul Hilal, sementara Nahdlatul Ulama dan beberapa ormas Islam lainnya memakai kriteria Imkan Rukyat (visibilitas hilal).

Baca juga:Pemko Medan Buka Ramadhan Fair di Mesjid Raya dan Belawan 25 Maret 2023

Untuk tahun ini, Profesor Riset Astronomi-Astrofisika di Pusat Riset Antariksa BRIN Thomas Djamaluddin, dikutip dari situs BRIN, Rabu (8/3/23), mengungkap ada “potensi kesamaan awal Ramadhan”.

Apa syaratnya? Thomas menyebut itu terjadi apabila saat waktu maghrib 22 Maret 2023 di Indonesia posisi bulan sudah memenuhi kriteria baru yang disepakati Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).

Yakni, tinggi minimal hilal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat (3-6,4) dan sudah memenuhi kriteria Wujudul Hilal [WH].

“Jadi seragam versi 3-6,4 dan WH bahwa 1 Ramadhan 1444 pada 23 Maret 2023,” ujar Thomas.

Muhammadiyah sendiri sudah menetapkan awal bulan puasa (1 Ramadan 1444 H) jatuh pada Kamis (23/3). Sementara, Idulfitri 2023 (1 Syawal 1444 H atau Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Jumat (21/4).

Sementara, Thomas menyebut “adanya potensi perbedaan terkait Idul Fitri 1444”.

Hal ini, katanya, disebabkan karena pada saat waktu maghrib 20 April 2023 ada potensi posisi bulan di Indonesia belum memenuhi kriteria baru MABIMS (3-6,4).

Namun, katanya, itu sudah memenuhi kriteria wujudul hilal.

“Jadi ada potensi perbedaan: Versi (3-6,4) 1 Syawal 1444 pada 22 April 2023, tetapi versi WH 1 Syawal 1444 pada 21 April 2023,” urainya.

Terlepas dari itu, Thomas, yang juga mantan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) itu, menyarankan kesepakatan soal kriteria dalam penentuan awal bulan hijriyah.

“Penentuan awal bulan memerlukan kriteria agar bisa disepakati bersama. Rukyat memerlukan verifikasi kriteria untuk menghindari kemungkinan rukyat keliru.”

Baca juga:Bansos Pangan Jelang Ramadhan dan Idulfitri akan Digulirkan

“Hisab tidak bisa menentukan masuknya awal bulan tanpa adanya kriteria. Sehingga kriteria menjadi dasar pembuatan kalender berbasis hisab yang dapat digunakan dalam prakiraan rukyat,” tandas Thomas.

Dikutip dari situsnya, Muhammadiyah, dalam penentuan awal bulan kamariah, memakai hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal, yakni Matahari terbenam lebih dahulu daripada Bulan walaupun hanya berjarak satu menit atau kurang.

Dalam kriteria WH ini, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat bersamaan atau kumulatif.

Yakni, terjadi ijtimak (Bulan, Bumi, Matahari pada posisi garis bujur yang sama alias sejajar), ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan pada saat matahari terbenam Bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.

“Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, maka bulan berjalan digenapkan tiga puluh hari dan bulan baru dimulai lusa,” demikian keterangan Muhammadiyah. (cnn/hm06)

Related Articles

Latest Articles