19.2 C
New York
Wednesday, May 15, 2024

Heroisme Panjat Pinang, Ilusi Kebangsaan dalam Bingkai Historis Romantika Kolonial

Sejarah Panjat Pinang yang Melegenda di Indonesia 

Segenap rakyat Indonesia, sangat mengenal betul salah satu permainan yang amat melegenda serta kerap dinantikan sebagai tontonan warga saat perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ini. Tradisi perlombaan berebut hadiah yang digantung di puncak pohon pinang ini, seakan menggenapi, bahwa seberapa banyak pun permainan dan hiburan rakyat yang digelar, tetap tidak klop jika panjat pinang tak disertakan. Lazimnya, perlombaan ini ditampilkan sebagai rangkaian penutup aktivitas perayaan Hari Kemerdekaan pada sore hari hingga menjelang malam.

Sejarah atau histori panjat pinang ini bisa kita telaah dari buku ‘Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal’ (2013) karya Fandy Hutari. Menurutnya, permainan yang menarik perhatian masyarakat Indonesia ini masih berhubungan dengan budaya Tionghoa. Dalam khazanah kebudayaan Tionghoa, panjat pinang ini populer di Tiongkok bagian Selatan, terutama daerah Fukien, Guangdong dan Taiwan.

Permainannya tercatat pertama kali pada zaman Dinasti Ming dengan sebutan ‘qiang gu’ yang dikaitkan dengan tradisi festival hantu. Namun pada era Dinasti Qing, atraksi panjat pinang ini sempat dilarang pemerintah Tiongkok, karena banyak menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Oleh karena itulah, jika berkaca dari sejarah panjat pinang ini, jatuhnya korban bukanlah fenomena baru tetapi sudah terjadi sejak dulu.

Fandy Hutari menuturkan, tradisi panjat pinang yang sudah dikenal sejak lama di Indonesia dan tetap merakyat hingga sekarang, boleh jadi merupakan proses asimilasi antara kebudayaan Indonesia dan kebudayaan Tionghoa. Sebagaimana diketahui, dalam sejarah Indonesia, salah satu asal muasal leluhur bangsa Indonesia adalah dari negeri Tiongkok, khususnya dari wilayah Yunan di Tiongkok Selatan.

Baca juga:Fokus Lensa : Kapal Pirates of Carribean di perayaan HUT RI di Kota Pematang Siantar nan Memukau

Dari catatan Fandy, permainan panjat pinang ternyata sudah lama populer di Indonesia, bahkan ketika kolonial Belanda masih berkuasa. Sekitar tahun 1930-an, permainan ini kerap digelar orang-orang Belanda saat mereka mengadakan hajatan, seperti pernikahan, kenaikan jabatan, atau pesta ulang tahun. Jadi, sama sekali tak berkaitan dengan perayaan kemerdekaan.

Lazimnya, hadiah yang diperebutkan berupa makanan, seperti keju dan gula, namun ada juga berupa kaus atau kemeja. Bagi orang-orang pribumi, hadiah-hadiah tersebut jelas tergolong sangat mewah. Untuk merebutnya, para lelaki pribumi harus saling injak, bahu-membahu membentuk ‘tangga hidup’ untuk menjangkau pucuk pohon pinang yang licin karena berlumur oli.

Perlombaan memanjat pohon pinang pada masa kolonial hanya diikuti kalangan pribumi. Sedangkan orang-orang Belanda cuma tertawa-tawa, menyaksikan kaum pribumi mati-matian memanjat pohon pinang untuk sekadar meraih hadiah yang digantung di ujung pohon. Permainan panjat pinang ini juga biasa diadakan kalangan keluarga pribumi yang kaya raya, tokoh masyarakat, penguasa lokal pribumi yang tentunya merupakan antek-antek kolonial Belanda.

Versi lain dikemukakan Olivier Johannes Raap, dalam bukunya ‘Soeka-Doeka di Djawa Tempo Doeloe’ (2021). Ia menggambarkan panjat pinang merupakan permainan warisan dari era kolonial Belanda saat berkuasa di nusantara. Permainan ini selama berabad-abad lalu, telah dilakonkan di atas kapal-kapal milik Belanda sebagai sarana olahraga. Caranya, para awak kapal melakukan olahraga ini dengan menggunakan tiang layar sebagai media panjatan secara personal.

Kebiasaan para awak kapal Belanda ini kemudian merambah sebagai hiburan rakyat di Pulau Jawa, namun mengganti medianya dengan menggunakan batang pohon pinang yang telah dikelupas kulit luarnya. Kesulitan memanjat tentu tergantung pada diameter batang pohonnya. Jika tiangnya tipis, pemain dapat dengan mudah menggunakan tangannya. Namun jika batangnya tebal tumpuan memanjatnya harus menggunakan kaki.

Secara teknis dari deskripsi Raap, praktiknya berbeda dengan yang kita kenal saat ini, di mana panjat pinang dilakukan secara beregu. Pemain panjat pinang era kolonial ini awalnya juga dilakonkan anak-anak remaja yang sudah pintar memanjat. Mereka memanjat menggunakan kakinya untuk sampai ke puncak, mengambil hadiah-hadiah yang tergantung.

Hadiah yang digantung juga beraneka macam, antara lain topi koboi, bola-bola, handuk, dasi dan lain-lain. Untuk mempersulit pemain, biasanya batang pinang dilumuri dengan pelumas, sama seperti yang kita kenal sekarang. Dampaknya, para peserta sering berjatuhan karena terpeleset dan menjadi atraksi yang lucu bagi penonton. Saat peserta berjatuhan inilah, para penonton tertawa terbahak-bahak, sementara para pemain meringis kesakitan.

Related Articles

Latest Articles