15.9 C
New York
Wednesday, May 15, 2024

Heroisme Panjat Pinang, Ilusi Kebangsaan dalam Bingkai Historis Romantika Kolonial

Ilusi Kebangsaan, Romantika Kolonial dan Filosofis Pragmatis 

Entah siapa yang mempopulerkan permainan yang berkategori ‘keras dan menindas’ ini pascakemerdekaan? Padahal sudah jelas termaktub dalam konstitusi kita, komitmen tentang penghapusan segenap bentuk penindasan terhadap sesama manusia. Ironisnya, permainan ini masih saja menjadi primadona masyarakat di tanah air, khususnya saat memeriahkan perayaan Hari Kemerdekaan.

Jika dikatakan bahwa permainan ini merupakan wujud heroisme atau semangat kepahlawanan dalam merebut kemerdekaan yang harus diraih dengan perjuangan keras dan mengorbankan jiwa raga, rasanya terlalu naif juga. Jangan-jangan, kita tengah ‘terperosok’ dalam romantika kolonial, karena memang masih banyak diantara anak bangsa ini yang masih suka ‘menindas’ sesamanya?

Harus diakui, makna filosofis perjalanan sejarah panjat pinang ini kerap menjadi kontroversial, khususnya saat bulan Agustus tiba. Beberapa kalangan menilai, jika dilihat dari sejarahnya, lebih baik lomba panjat pinang ini dihentikan saja, karena mencederai nilai-nilai kemanusiaan. Pandangan mereka, panjat pinang ini hanyalah romantika kolonial dan kejahilan penjajah saja terhadap kaum pribumi.

Sebab tujuan awal mereka sudah jelas, yakni sekadar mendapatkan hiburan untuk melepas tawa, dan senang melihat kaum pribumi berjatuhan saling menindas.

Namun sebaliknya, bagi kaum pendukung panjat pinang, justru melihat permainan ini mengajarkan kerja keras, belajar bekerjasama dan mengutamakan kekompakan untuk dapat meraih kemenangan. Panjat pinang ini dimaknai sebagai gambaran betapa kerasnya perjuangan bangsa di masa lalu saat melawan kolonialisme.

Baca juga:Ini Sejumlah Kriteria Penetapan Seseorang Menjadi Pahlawan Nasional

Jika panjat pinang yang telah ada sejak era kolonial ini hadiahnya diibaratkan sebuah ‘kemerdekaan’, maka panjat pinang punya makna filosofis mendalam. Artinya, permainan ini mengajarkan perjuangan dan bekerjasama untuk mencapai kemerdekaan. Dalam satu regu yang bekerjasama, diperlukan kecerdikan masing-masing, seperti menopang peserta yang berat badannya lebih ringan serta menyingkirkan ego pribadi untuk menggapai kemerdekaan.

Padahal jika ditelisik dari sejarah awal panjat pinang ini, sama sekali tak berkaitan dengan nuansa kebangsaan, apalagi berhubungan dengan perayaan Hari Kemerdekaan. Sebab faktanya, jauh sebelum Republik Indonesia ini diproklamirkan, panjat pinang sudah menjadi tontonan yang menghibur para tuan-tuan kapitalis penguasa nusantara beserta antek-anteknya.

Boleh jadi, hanya sebuah bentuk ilusi semata jika dikatakan, panjat pinang merupakan wujud perjuangan bersama dalam meraih kemenangan. Apalagi, rata-rata hadiah yang diperebutkan dengan susah payah itu, tak terlalu besar. Kalau pun menang, hadiahnya tak cukup untuk sekadar biaya pemulihan tenaga, puding atau berkusuk untuk menghilangkan rasa sakit.

Bahkan keesokan harinya, kerap banyak peserta yang demam, sakit, sehingga tak bisa sekolah, kuliah atau bekerja. Sebaliknya jika tim yang kalah? Tentu sejatinya mereka semakin mengalami berkali-kali kekalahan!

Begitu pun, yang namanya hiburan, seberapa pun kontroversinya, tentu tak terlalu penting dipersoalkan. Sepanjang tetap bisa menghibur dan masih banyak penggemarnya, serta masih ada yang bersedia menjadi pesertanya, silahkan saja. Sebab sisi lain yang paling penting bagi kita adalah, bagaimana memaknai kemerdekaan itu sendiri. Tentu bukan sekadar kemeriahan perlombaan atau hikmadnya upacara, tetapi bagaimana wujudnyata perbuatan kita kepada bangsa dan negara ini. Digahayu Kemerdekaan Republik Indonesia Ke 78, tetaplah berfikir merdeka! (hm06)

(Jalatua Hasugian, Penulis adalah Dosen Prodi Sejarah FKIP Universitas Simalungun)

 

Related Articles

Latest Articles