22 C
New York
Tuesday, April 30, 2024

Pengamat Politik: Fenomena Caleg Pindah Parpol Adalah Ekspresi Konflik di Dalam Partai

Medan, MISTAR.ID – Pengamat politik Shohibul Anshor Siregar mengatakan, fenomena politisi pindah partai politik (parpol) adalah salah satu ekspresi konflik yang terjadi di dalam partai.

“Penguasa parpol menilai seseorang perlu dikurangi kewenangan, hak dan aksesnya dalam partai. Kemudian seseorang itu merasa tak puas dengan perlakuan itu, akhirnya memutuskan perlawanan terbuka,” ujarnya, Rabu (24/5/23).

Shohibul mengatakan, harus disadari bahwa konflik bukanlah sesuatu yang langka dalam setiap partai. Bahkan, partai adalah salah satu sarana diplomasi dan kompromi atas pertentangan-pertentangan serius (konflik).

Baca Juga: 18 Parpol Telah Daftarkan 482 Balon Anggota DPRD ke KPU Siantar, ini Rekapnya

Menurut Shohibul, jika disederhanakan, di Indonesia ada tiga agenda tetap konflik kepartaian. Pertama, saat bermusyawarah (dan atau kongres) untuk menentukan pengurus dengan pertarungan meneruskan jabatan figur yang lama atau mengorbitkan figur yang baru.

“Ingat, banyak partai di Indonesia lahir sebagai finalisasi konflik. Surya Paloh pergi dari Partai Golkar dengan sebuah tekad, dan setelah mendirikan Ormas Nasional Demokrat tak lama kemudian mendirikan Nasional Demokrat (NasDem) partai dan segera berusaha memenuhi ketentuan regulasi untuk menjadi peserta pemilu,” ucapnya.

Kedua, saat menentukan calon untuk eksekutif (pilpres dan Pilkada). Umumnya karena ketidaksepakatan atas kandidat yang ditetapkan, dan tak sedikit yang melahirkan pembangkangan dan bahkan keluar dari partainya.

Baca Juga: Anggota DPRD Siantar dari PKP Mencalonkan Kembali dari Parpol Lain, ini Katanya

Dikatakan Shohibul, kita tahu regulasi yang berlaku memberi hak usul belaka kepada pengurus partai di daerah yang hanya berfungsi sebagai cabang ansich. Sedangkan penentuan finalnya ada pada ‘amangboru’ dan ‘namboru’ yang menjadi ‘pemilik’ partai yang bersinggasana di Jakarta.

“Umumnya hanya dua pertimbangan untuk peroleh penetapan, yakni kedekatan kepada pemilik partai dan nilai persembahan material untuk Jakarta. Ini hanya dapat terjadi karena partai politik Indonesia didesain oligarkis dan agak anti demokratisasi,” ucapnya.

Ketiga, kata Shohibul, penentuan calon legislatif. Sifat oligarkis dan anti demokratisasi partai juga hadir signifikan di sini. Menurutnya, partai mana pun yang mengalami konflik dalam proses pengajuan calon (sementara) Legislatif untuk Pemilu 2024 pastilah terkait dengan salah satu agenda konflik tetap kepartaian Indonesia itu.

Baca Juga: Lakukan Verifikasi, KPU Siantar Cek soal Anggota DPRD Mencalon Pakai Parpol Lain

“Tidak ada yang begitu baru di sini. Hanya saja, seseorang bisa merasa keputusan terbaik menghadapi perlakuan yang dinilainya tidak adil terhadapnya ialah pindah partai dan jika diberi tempat dan posisi yang memungkinkannya terorbit melalui kontestasi electoral 2024 pada partai baru,” jelasnya.

Shohibul menyebutkan, seseorang masuk ke organisasi apa pun, apalagi partai politik, tentu memperkirakan manfaat yang mungkin dia peroleh. Apalagi partai politik, jika tak peroleh harapan untuk meraih kekuasaan maka sangat masuk akal seseorang mencari wadah lain.

Hal itu lebih dimungkinkan secara lebih mudah lagi oleh fakta bahwa regulasi politik di Indonesia tak memiliki keberanian untuk mendefinisikan ‘kader partai’. Juga karena fakta bahwa ideologi dalam partai adalah sesuatu yang sudah sejak lama dianggap tak lagi begitu penting dibunyikan.

Baca Juga: KPU Sumut Mulai Memverifikasi Berkas Bacaleg Usulan 18 Parpol

“Pemilu 2014 misalnya. Si A berhasil duduk di lembaga legislatif dari partai Indonesia Bagus Selalu, dan pada pemilu 2019 berhasil duduk namun dari partai berbeda, yakni partai Selalu Bagus Indonesia. Jika untuk Pemilu 2024 si A akan mencalon dari partai yang lain lagi, yakni partai Bagus Indonesia Selalu, tak ada yang akan menghalanginya,” pungkasnya. (ial/hm20)

Related Articles

Latest Articles