30.1 C
New York
Friday, June 21, 2024

Soal Otonomi Keuangan, Sumut Dinilai Masih Sulit Mandiri Dalam Anggaran

Medan, MISTAR.ID

Pengamat Anggaran Sumatera Utara, Elfenda Ananda menilai Provinsi Sumatera Utara dan sejumlah provinsi lainnya masih sulit dalam hal kemandirian keuangan dan anggaran saat ini. Pandangannya ini perihal otonomi keuangan daerah.

“Secara umum memang sulit daerah-daerah provinsi se Indonesia untuk tidak punya ketergantungan dengan pemerintah pusat dalam hal otonomi keuangan. Seluruh wilayah Indonesia saat ini tergantung dengan dana transfer pemerintah pusat,” ujarnya kepada Mistar.id, Kamis (13/6/24).

Elfanda mengatakan memang benar adanya Undang-Undang (UU) yang menyebutkan daerah punya hak dana dari hasil bagi pajak.

Baca juga: Terkait Otonomi Daerah, Pemkab Labuhanbatu Gali Sumber Pajak Daerah

“Memang menurut undang undang ada hak daerah menurut perhitungan atas berbagai hasil bagi pajak yang menjadi hak daerah tersebut. Bukan berdasarkan belas kasih pemerintah pusat semata.  Namun, ada beberapa wilayah menurut Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan kapasitas fiskal sangat tinggi seperti DKI Jakarta, Banten, Kalimantan Timur dan Papua Barat,” ungkapnya.

“Peta kapasitas fiskal yang dikeluarkan oleh kementerian keuangan setiap tahunnya sebenarnya bisa menjadi rujukan awal untuk menilai keuangan daerah selain faktor kemampuan daerah dalam memperoleh PAD dan membelanjainya. Di Keputusan Menteri keuangan tersebut untuk menilai kapasitas fiskal sudah dijelaskan rumusnya. Semakin besar pendapatan daerah dan sumber penerimaan lainnya dibagi dengan jumlah belanja pegawai maka akan membuat ruang fiskal semakin besar,” sambungnya.

Dirinya mengatakan di Indonesia hanya ada 4 provinsi yang memperoleh kapasitas fiskal yang tinggi. Sementara itu, tidak ada Sumut di antara ke empat provinsi tersebut.

“Dari 38 Provinsi yang ada di Indonesia hanya ada 4 provinsi yang memperoleh kapasitas fiskal sangat tinggi yang disebutkan sebelumnya. Untuk DKI Jakarta dengan pendapatan Daerah tahun 2024 sebesar Rp.72 triliun dengan PAD sebesar Rp.52 triliun serta belanja pegawainya hanya Rp.20 triliun dengan jumlah penduduk menurut BPS 10,6 juta jiwa,” ungkapnya.

Baca juga: Ananda Masuk Grand Finalis Putri Otonomi Indonesia, Bupati: Bawa Nama Sergai

“Selain itu Provinsi Kalimantan Timur dengan Pendapatan Daerah Rp20 triliun dengan PAD Rp 9,8 triliun dengan belanja pegawainya sebesar Rp.3,1 triliun dengan jumlah penduduk menurut BPS 4 juta jiwa. Provinsi Banten dengan pendapatan daerah sebesar Rp.11,7 triliun, PAD sebesar Rp.8,6 triliun dengan belanja pegawai sebesar Rp.2,6 triliun,” tambahnya.

Keempat, Elfenda mengatakan Papua Barat juga memiliki kapasitas fiskal yang tinggi. “Begitu juga dengan Provinsi Papua Barat dengan Pendapatan daerah sebesar Rp.4,5 triliun, PAD sebesar Rp.565 milyar dengan belanja pegawai sebesar Rp.879 milyar,” tuturnya.

Menurut pengamat kebijakan publik itu pula sangat sulit daerah termasuk Sumut untuk mandiri soal keuangan mengingat pendapatan daerah mayoritas dikuasai oleh pemerintah pusat.

“Disaat sumber pendapatan daerah Sebagian besar dikuasai oleh pemerintah pusat, rasanya sangat sulit daerah untuk mandiri secara keuangan. Bagaimana dengan APBD Provinsi Sumut yang predikat peta fiskalnya mendapat kategori sedang yang dikeluarkan oleh Menteri keuangan pada September 2023,” jelasnya.

Baca juga: Wabup Pakpak Bharat: Otonomi Daerah Untuk Wujudkan Masyarakat Makmur

Elfanda menjelaskan  dari data yang dimilikinya, pada tahun 2024 yang diproyeksikan Pendapatan daerah Sumut sebesar Rp.14,63 triliun yang bersumber dari PAD sebesar Rp.8,97 triliun atau 61,38%. Sumber dana transfer sebesar Rp.5,63 triliun atau 38,5%  dan sumber penerimaan lain-lain yang sah sisanya.

Diketahui bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) provinsi Sumut mengandalkan pajak kendaraan, bea balik nama dan bahan bakar minyak. Kalaulah dibatasi jumlah kendaraan yang beroperasi di sumut ini, maka akan hilanglah sumber PAD wilayah Provinsi ini.

“Sebenarnya, dari sisi nominal pendapatan daerah ini sudah cukup besar dibanding wilayah lainnya. Namun, untuk belanja pegawai APBD harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp.3,5 triliun dengan jumlah penduduk sebesar 15,5 juta jiwa dengan luas wilayah dan beban pemeliharaan belanja infrastruktur yang cukup berat,” kata Elfenda.

Menurutnya jalan provinsi yang cukup Panjang, jumlah kabupaten yang cukup banyak ada 33 kabupaten kota yang harus diberikan dana perimbangan dan belanja transfer rasanya sulit apalagi pemerintah provinsi belum menerapkan prinsip efisiensi belanja secara maksimal.

Baca juga: Putri Otonomi Indonesia Gresita Siahaan Promosikan Tenun Ulos ke Berbagai Daerah

Pria yang dikenal sebagai analisi anggaran tersebut juga beranggapan masih banyak belanja daerah yang sebenarnya bisa dilakukan efisiensi, namun tidak dilakukan.

“Uang APBD yang diperoleh dari keringat rakyat seolah bancakan. Perjalanan dinas yang seharusnya bisa dihemat lewat zoom meeting tapi tetap pergi demi mendapatkan sisa uang perjalanan. Perjalanan dinas sulit diukur manfaatnya dan implementasi dari perjalanan dinas hanya Sebagian kecil yang bisa dirasakan,” tegasnya.

Kemudian Elfenda mengatakan Pemerintah Provinsi Sumut sebenarnya harus melakukan berbagai upaya penghematan belanja pegawai, belanja perjalanan dinas dan melakukan evaluasi belanja Pembangunan berdasarkan skala prioritas yang sangat mendesak dan penting saja.

“Sebagian besar wilayah kabupaten Kota minim dalam perolehan PAD dan bergantung dengan pemerintah yang diatasnya yakni pusat dan provinsi. Ruang untuk memperoleh PAD sangat terbatas, wilayah Perkebunan dan industri serta tambang dan BUMN bukan ranahnya PAD walaupun di kabupaten kota terdapat Perkebunan, industri, tambang dan BUMN. Pemkab-Pemko hanya jadi penonton dan kalau ada masalah seringkali pemkab dan pemko jadi sasaran unjuk rasa. Harusnya ini menjadi perhatian pemerintah pusat dalam mendistribusikan kewenangan dalam memperoleh PAD,” pungkasnya. (Iqbal/hm17)

Related Articles

Latest Articles