Pengamat Politik: Pendanaan Partai di Indonesia Harus Direformasi


Pengamat Politik Sumut, Shohibul Anshor. (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Pengamat politik Sumatera Utara (Sumut), Shohibul Anshor menilai pendanaan partai politik di Indonesia harus direformasi, untuk mencapai sistem yang adil dan bebas oligarki.
“Sistem pendanaan partai politik Indonesia saat ini bukan hanya tidak memadai, tapi juga cacat demokrasi. Hal ini juga menjadi penghambat keadilan bagi partai politik, solusinya harus ada reformasi dana,” ujarnya pada Mistar, Jumat (16/5/2025).
Menurutnya, pola distribusi dana berdasarkan perolehan suara Pemilu selama ini menciptakan ketimpangan struktural yang ada di Indonesia.
“Ini sistem yang absurd, bayangkan saja jika partai besar bisa mendapatkan ratusan miliar rupiah, sedangkan partai kecil harus bertahan dengan dana yang mungkin tak mencukupi untuk kebutuhan operasional internal partai selama setahun, artinya kita sangat prihatin,” ucap dosen UMSU itu.
Dosen yang intens meneliti sistem politik komparatif itu juga memaparkan, dana hibah yang diberikan kepada partai politik cenderung timpang dan memicu lahirnya oligarki nakal.
“Kalau saya tidak salah, alokasi hibah APBN 2024 kepada partai politik hanya Rp1,2 triliun. Lebih kecil dari anggaran hibah olahraga yang mencapai Rp3,5 triliun. Kita tidak bermaksud bahwa olahraga tidak lebih penting, karena saya tahu, alokasi dana pada sektor ini juga tergolong kecil,” katanya.
Lebih lanjut, Shohibul mengingatkan, sistem saat ini sangat memperkuat oligarki, dan demokrasi Indonesia sudah dikendalikan oleh segelintir partai yang didikte pemodal besar.
“Dengan mekanisme yang ada saat ini, kita sedang memelihara lingkaran setan. Partai besar semakin kaya dan dominan, sementara partai kecil sulit berkembang dengan keterbatasan,” ujarnya.
Sebagai solusi, Shohibul mengusulkan model revolusioner dengan sistem baru melalui semua partai yang memenuhi threshold parlemen mendapat dana sama.
“Katakanlah Rp1 triliun per tahun, lalu dapat dipertimbakan untuk adanya intensif tambahab berdasarkan kinerja dan akuntabilitasnya,” ucapnya.
Shohibul juga menyampaikan, bahwa gagasan yang disampaikan bukan tanpa preseden. Ia juga memberikan sebuah contoh negara lain seperti Jerman yang memberikan dana dasar untuk semua partai di parlemen, plus tambahan berdasarkan suara.
“Bahkan Kanada dengan sistem matching fund yang menggandakan sumbangan masyarakat. Begitu juga Swedia yang memberikan dana operasional tetap terlepas dari hasil Pemilu,” ujarnya.
Saat ini, kata Shohibul, Indonesia justru anomali sebagai negara demokrasi besar dengan sistem pendanaan parpol paling diskriminatif.
“Berkaitan resistensi yang kerap menghadang, memang selalu ada kekhawatiran penyalahgunaan dana. Tapi solusinya bukan menolak pendanaan yang memadai, melainkan membangun sistem pengawasan triple-track dengan libatkan BPK, KPK dan lembaga independen,” katanya.
Kemudian, Shohibul menuturkan, pilihan sederhana harus ditentukan, apakah keberanian itu ada untuk memperhatikan kedaulatan atau tidak.
“Apakah ingin pertahankan sistem rusak yang menguntungkan oligarki, atau berani melakukan lompatan besar menuju demokrasi sejati, di mana partai benar-benar menjadi alat kedaulatan rakyat,” tuturnya. (ari/hm25)
PREVIOUS ARTICLE
Ibu Hamil Boleh Berangkat Haji, Tapi Ketahui Ini