Peran Banpol di Kepolisian Dipertanyakan usai Pelajar Asahan Meninggal Diduga Dianiaya


Sofian, Dekan Fakultas Hukum dan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Asahan (UMMAS). (f:ist/mistar)
Asahan, MISTAR.ID
Polda Sumatera Utara (Sumut) resmi menetapkan tiga tersangka dalam kasus penganiayaan yang menyebabkan meninggalnya Pandu Brata Siregar, seorang pelajar SMA di Kisaran, Kabupaten Asahan, Minggu (9/3/2025) lalu.
Adapun, para tersangka terdiri dari seorang perwira kepolisian dan dua warga sipil yang disebut berprofesi sebagai bantuan polisi (banpol).
Salah satu tersangka adalah Kanit Reskrim Polsek Simpang Empat, Ipda Akhmad Efendi. Sementara itu, dua tersangka lainnya, Yudi Siswoyo dan Dimas Adrianto, disebut sebagai Banpol yang kerap membantu tugas kepolisian.
Keterlibatan banpol dua warga sipil ini menimbulkan pertanyaan, terutama setelah dalam pra-rekonstruksi yang digelar, Senin 17 Maret 2025 lalu, mereka terlihat berboncengan dengan polisi ikut melakukan penganiayaan terhadap korban, termasuk menabraknya dengan sepeda motor dan melakukan pemukulan.
Terkait kasus ini, Akademisi Hukum Tata Negara yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum dan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Asahan (UMMAS), Sofian, menegaskan bahwa tidak ada regulasi yang secara spesifik mengatur eksistensi Banpol sebagai profesi yang berwenang membantu Polri.
“Banpol sering dikategorikan sebagai bagian dari pengamanan swakarsa, tetapi tidak ada aturan formal yang secara khusus mengatur peran mereka,” kata Sofian saat diwawancarai Mistar, Jumat (21/3/2025).
Dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkap) Nomor 23 Tahun 2010, tugas pengaturan lalu lintas dan penegakan hukum sepenuhnya berada di bawah wewenang kepolisian, khususnya melalui Satuan Lalu Lintas (Satlantas) dan Satuan Reserse Kriminal (Reskrim).
Hal ini juga diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, yang menyebutkan bahwa selain Polri, fungsi kepolisian dapat dijalankan oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), serta bentuk pengamanan swakarsa yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Meski dalam praktiknya, banpol sering ditempatkan di Satlantas untuk membantu mengatur lalu lintas, ada kekhawatiran mengenai keterlibatan mereka dalam tugas kepolisian yang lebih luas, termasuk di sektor reserse.
“Banpol bisa juga berperan sebagai informan hingga terlibat dalam operasi penegakan hukum. Di sinilah muncul masalah, karena penegakan hukum seharusnya menjadi kewenangan resmi aparat kepolisian, bukan sukarelawan tanpa pelatihan resmi seperti banpol,” ujar Sofian yang juga merupakan Wakil Ketua Bidang Hikmah dan Kebijakan Publik Pemuda Muhammadiyah Asahan ini.
Menurutnya, pemerintah perlu mengambil langkah tegas terkait status dan peran nanpol di tengah masyarakat. Jika keberadaan banpol diakui dalam sistem hukum, maka diperlukan regulasi yang lebih jelas agar mereka beroperasi dalam koridor hukum yang sesuai. Sebaliknya, jika dianggap tidak sesuai, pemerintah harus melakukan langkah penertiban untuk mencegah praktik yang berpotensi merugikan masyarakat.
Kehadiran banpol di tengah masyarakat memang memiliki sisi positif, terutama dalam membantu pengaturan lalu lintas di titik-titik tertentu. Namun, keberadaannya juga berpotensi mengganggu sistem yang ada, terutama jika disalahgunakan untuk tindakan di luar kewenangan mereka, seperti dugaan keterlibatan dalam penganiayaan yang terjadi di Asahan.
“Kasus ini menjadi pengingat bahwa tanpa aturan yang jelas, keberadaan Banpol bisa menjadi pisau bermata dua. Oleh karena itu, regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan bahwa segala bentuk bantuan kepada kepolisian tetap berada dalam koridor hukum yang berlaku,” pintanya. (perdana/hm25)