19.1 C
New York
Monday, April 29, 2024

PMS Ingatkan, Tak Ada Istilah Tanah Adat di Simalungun

Pematang Siantar, MISTAR.ID

Terkait adanya kelompok masyarakat di Kabupaten Simalungun mengklaim memiliki tanah adat, disikapi serius Ketua Umum Partuha Maujana Simalungun (PMS) Sarmedi Purba melalui konferensi pers yang digelar di Siantar Hotel, Senin (8/8/22). Dia menegaskan, tidak ada istilah tanah adat di Simalungun, apalagi yang mengklaim bukan dari etnis Simalungun.

“Di Simalungun tidak ada tanah adat,” tandasnya.

Untuk itu, terkait sekelompok masyarakat yang mengklaim memiliki tanah adat di Sihaporas, Kabupaten Simalungun dan sedang bersengketa, membuat PMS sebagai lembaga pemangku adat Simalungun merasa terpanggil untuk memberi penjelasan ke publik, juga kepada negara dan pemerintah.

Baca juga: Konflik Tanah di Sihaporas, AMMA Desak Pemerintah Selesaikan

Sebagai Partuha Maujana (Pemangku Adat dan Cendikia), PMS cukup mengetahui sejarah, adat dan budaya Simalungun, sebut Sarmedi Purba. Dengan adanya klaim tanah adat itu, membuat PMS resah.

“Kami yang tahu sejarahnya, kami sangat resah. Kami sebagai PMS sebagai penerus kerajaan, kami resah,” ucap Sarmedi.

Pria yang kini berusia 82 tahun itu menjelaskan, pada zaman kerajaan di Simalungun, adat dan budaya diatur secara langsung oleh raja. Selain raja, pemimpin pemerintahan kewilayahan, dipimpin “partuanon” yang disebut “tuan”.

“Tuan” di masa itu merupakan keturunan “ningrat” atau kerabat dekat dari raja. Sedangkan lahan (tanah) di zaman itu, mutlak dikuasai (dimilki) raja. Sedangkan pihak lain hanya diberikan hak untuk mengusahai (mengelola).

“Kerajaan Simalungun tidak mengenal masyarakat adat,” tuturnya.

Baca juga: Ahli Waris Harajaon Simalungun akan Bentuk Lembaga Pemangku Adat

Hanya saja, pada masa kerajaan itu, banyak pendatang yang merantau ke Simalungun. Lalu, para pendatang itu berumah tangga dengan warga (etnis) Simalungun. Kemudian diberikan hak oleh pihak kerajaan untuk mengelola lahan.

Kemudian, pendatang itu menjadi pemilik lahan, setelah Indonesia merdeka, dan negara terbentuk. Karena raja-raja di Simalungun menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejak kemerdekaan itulah, lanjut Sarmedi, para pendatang tersebut, karena secara terus menerus mengusahai dan mengelola lahan, maka lahan itu menjadi miliknya, sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, Sarmedi didampingi Japaten Purba, Rohdian Purba dan Pdt Juandaha Raya Purba, mengatakan, bila memiliki lahan atas klaim tanah adat, maka hal itu tidak benar. Namun, bila itu karena diberikan negara sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan, sepanjang tidak disebut sebagai tanah adat, maka hal itu, sah.

Baca juga: Dari Danau Toba, Aktivis Perempuan Desak W20 Lindungi Hak-hak Perempuan Adat

“Jadi jangan diklaim sebagai tanah adat. Karena tidak ada tanah adat di Simalungun. Jadi, karena kerajaan tidak ada lagi, maka berubah menjadi tanah negara,” ungkapnya dan berharap, negara perlu menuntaskan klaim tanah adat di Simalungun secara hukum.

“Karena tanah yang dikuasai raja telah menjadi tanah negara. Seperti lahan HGU untuk perkebunan,” ujarnya.(maris/ril/hm09)

Related Articles

Latest Articles