Calo dan Suap dalam Seleksi Aparatur Negara, Bagaimana Memberantasnya?
![journalist-avatar-top](/_next/image?url=%2Fimages%2Fdefault-avatar.png&w=64&q=75)
![calo_dan_suap_dalam_seleksi_aparatur_negara_bagaimana_memberantasnya](/_next/image?url=https%3A%2F%2Ffiles-manager.mistar.id%2Fuploads%2FMISTAR%2F11-02-2025%2Fcalo_dan_suap_dalam_seleksi_aparatur_negara_bagaimana_memberantasnya_2025-02-11_14-49-13_4824.jpg&w=1920&q=75)
Ilustrasi, suap. (f:ist/mistar)
Oleh: Anwar Suheri Pane
Sejumlah orang tua calon siswa TNI yang gagal berunjuk rasa ke kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut), Selasa (11/2/25) siang.
Tuntutan para orang tua tersebut, tersangka penipuan Ninawati mengembalikan uang yang sebelumnya dimaksudkan sebagai pelicin untuk meluluskan putra-putri mereka sebagai anggota TNI.
Kasus pemanfaatan kesempatan dalam penerimaan aparatur negara seperti ini sudah tak terbilang jumlahnya. Para perantara atau calo, sering kali memanfaatkan keinginan peserta atau orang tua yang ingin anaknya lulus untuk mendapatkan uang dalam jumlah besar.
Tak sedikit pula, kasus semacam ini berakhir dengan kerugian para pemberi 'suap' atau orang tua peserta seleksi.
Uniknya, jika peserta seleksi atau ujian tersebut lulus, orang tua dari para ini nyaris tak pernah ribut. Bahkan, kemungkinan besar mereka akan menyangkal bahwa keberhasilan anaknya karena lewat 'jalur khusus'.
Mereka tak menyadari, jika putranya lulus menggunakan 'pelicin' saja, sudah lebih dulu merugikan orang lain yang mungkin punya potensi lebih, tapi tak memiliki uang.
Ironisnya, ketika para peserta yang coba menempuh 'jalur khusus' ini tidak lulus, orang tua mereka akan selalu merasa paling dirugikan. Dan perasaan ini sering kali pula didukung para aparatur negara dan masyarakat awam.
Cara-cara tidak baik seperti ini harusnya sudah diantisipasi sejak awal. Para orang tua harusnya berpikir, bahwa si penerima 'uang pelicin' bukan pemberi keputusan dalam penentuan kelulusan dalam seleksi dimaksud.
Selain itu, cara pintas ini adalah hal yang tidak baik. Sebagai orang tua, mereka seharusnya lebih mendorong anak untuk belajar atau berlatih, sehingga mampu lulus seleksi dengan kemampuan serta prestasi yang dimiliki.
Lagi pula, jika gagal dalam seleksi aparatur negara, masih banyak cara untuk mendapatkan rezeki atau penghasilan. Keberhasilan tidak hanya diukur jika lulus menjadi aparatur negara. Banyak jalur dan contoh yang bisa diambil untuk menuju kesuksesan.
Sayangnya, masih banyak orang tua yang ingin anaknya sukses dalam tempo sesingkat-singkatnya, seperti menggunakan mantra 'abrakadabra'.
Alasan inilah yang selalu menjadi pembenaran bagi sebagian orang tua untuk menempuh jalur tidak benar dalam setiap seleksi penerimaan.
Padahal, jika kita melihat pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), pemberi dan penerima suap dapat dipidana penjara masing-masing 5 tahun.
Namun, para orang tua pemberi suap ini seakan merasa tak bersalah telah melakukannya. Bahkan, menuduh orang yang telah menerima suap dari mereka sebagai penipu.
Ya! Benar mereka telah ditipu oleh perantara seperti Ninawati. Tapi upaya untuk meloloskan putra-putri mereka melalui jalur tidak benar, juga merupakan suatu 'penipuan' terhadap peserta lainnya, dan bisa saja dijerat dengan undang-undang pidana.
Mirisnya, kasus seperti ini selalu terulang setiap tahun. Setiap kali ada penerimaan aparatur negara, baik itu sipil, polisi, maupun TNI.
Seharusnya, orang tua yang ingin menggunakan jalur tidak benar ini sadar, bahwa sebagai umat beragama, itu adalah hal terlarang.
Dalam ajaran Islam, suap (risywah) sangat dilarang karena merusak keadilan dan menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat. Islam menegaskan bahwa suap adalah perbuatan dosa besar yang mendatangkan murka Allah.
Beberapa dalil tentang suap ini terdapat dalam Al-Qur'an.
"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al-Baqarah 2:188)
Ayat ini melarang praktik suap dan korupsi, terutama dalam pengambilan keputusan hukum.
"...Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram..." (QS. Al-Maidah 5:42)
Dalam tafsir ayat ini disebutkan, suap termasuk salah satu bentuk harta haram yang dikutuk Allah.
Selain itu, masih ada Hadis Nabi Muhammad SAW yang melarang suap.
"Allah melaknat orang yang memberi suap dan yang menerima suap dalam hukum." (HR. Abu Dawud & Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa baik pemberi maupun penerima suap sama-sama berdosa dan mendapat laknat Allah.
Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad SAW bersabda: "Laknat Allah atas penyuap, penerima suap, dan perantara di antara keduanya." (HR. Ahmad)
Ini menunjukkan bahwa bahkan perantara dalam praktik suap pun ikut berdosa besar.
Suap dalam Islam dinilai merusak keadilan dan kejujuran, menghancurkan moral dan akhlak, menyebabkan ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi dan menghalangi doa dan keberkahan hidup.
Umat Islam juga diperintahkan mencari rezeki dengan cara yang halal dan menjauhi praktik suap, karena hal ini bisa membawa kerusakan di dunia dan azab di akhirat.
Senada dengan itu, ajaran Kristen juga menyatakan suap atau korupsi adalah sesuatu yang sangat dilarang. Karena bertentangan dengan prinsip keadilan, kejujuran, dan kasih yang diajarkan dalam Alkitab.
Beberapa ayat AlKitab yang menentang suap antara lain:
Keluaran 23:8: "Suap janganlah kau terima, karena suap membutakan orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar."
Ayat ini menegaskan bahwa suap dapat merusak keadilan dan kebenaran.
Amsal 17:23: "Orang fasik menerima suap dari pundi-pundi untuk membelokkan jalan hukum."
Ayat ini menunjukkan bahwa suap adalah perbuatan orang fasik yang menyimpangkan hukum.
Mikha 7:3: "Para pemuka menuntut hadiah, para hakim menerima suap, dan orang-orang berkuasa menentukan hukum sesuka hatinya."
Suap dikaitkan dengan ketidakadilan dan penyalahgunaan kekuasaan.
2 Tawarikh 19:7: "Sebab tidak ada pada TUHAN, Allah kita, kecurangan atau keberpihakan atau suap."
Dengan sejumlah dalil tersebut, apakah sebagian besar masyarakat masih akan terus melakukan hal-hal seperti ini?
Ironisnya, jawaban untuk pertanyaan ini, kemungkinan besar adalah 'Ya'.
Sebagai masyarakat yang berpedoman pada Pancasila, di mana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka sebaiknya rakyat Indonesia tidak melakukan hal-hal tidak terpuji seperti suap.
Karena suap sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip agama dan kemanusiaan.
Aparatur negara juga diharapkan bertindak jujur dalam segala hal untuk mencapai Indonesia yang adil dan berkemakmuran. (*)
Penulis adalah Bagian Litbang HARIAN MISTAR dan mistar.id
![journalist-avatar-bottom](/_next/image?url=%2Fimages%2Fdefault-avatar.png&w=256&q=75)