19.2 C
New York
Monday, May 20, 2024

Properti Raksasa China Ajukan Kebangkrutan di AS Akibat Krisis Real Estate

New York , MISTAR.ID

Properti raksasa di China, Evergrande telah mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika Serikat (AS), akibat krisis real estate di negara itu semakin parah.

Ini akan memungkinkan perusahaan yang terlilit hutang untuk melindungi asetnya di Negeri Paman Sam itu, saat bekerja pada kesepakatan multi miliar dolar dengan kreditur.

Evergrande tak mampu membayar utangnya yang sangat besar pada tahun 2021 lalu, yang mengirimkan gelombang keterkejutan ke seluruh pasar keuangan global.

Baca juga: AS Lepas dari Kebangkrutan, Ekonomi Global terselamatkan?

Keputusan itu dibuat akibat masalah di pasar properti China menambah kekhawatiran menyangkut ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

China Evergrande Group mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 15 melindungi aset di pengadilan New York, pada Kamis (17/8/23).

Sementara Evergrande tidak segera menanggapi permintaan pendapatnya dari BBC.

Sesuai situs websitenya, unit real estate grup ini mempunyai lebih dari 1.300 proyek di lebih dari 280 kota di negara itu. Bisnis lainnya termasuk pembuatan mobil listrik dan klub sepak bola.

Baca juga: Pemilik Vice and Motherboard Mengajukan Kebangkrutan

Akibat tak berhasil membayar utangnya, Evergrande sudah menegosiasikan kembali perjanjiannya dengan kreditur.

Dengan utang yang diperkirakan berjumlah lebih dari $300 miliar (£235 miliar) merupakan rekor developer properti yang paling banyak berhutang di dunia. Bahkan sejak tahun lalu, sahamnya telah ditangguhkan dari perdagangan.

Evergrande mengungkapkan pada bulan lalu kehilangan gabungan 581,9 miliar yuan ($80 miliar £62,7 miliar) selama 2 tahun terakhir.

Minggu lalu, properti raksasa China lainnya, Country Garden, memperingatkan dapat mengalami kerugian hingga $7,6 miliar untuk 6 bulan pertama tahun ini.

Baca juga: Investor Asia Tuntut Swiss atas Kebangkrutan Bank Credit Suisse

Sejumlah perusahaan terbesar di pasar real estate Negeri Tirai Bambu itu sedang berjuang mencari uang dalam menuntaskan pembangunan.

“Kunci bagi masalah ini dengan menuntaskan proyek yang belum tuntas, karena  ini setidaknya akan menyebabkan sebagian pembiayaan tetap mengalir,” kata Steven Cochrane dari firma riset ekonomi Moody’s Analytics.

Menurut Steven, banyak rumah pra penjualan, namun jika pembangunannya berhenti, maka pembeli tidak lagi melakukan pembayaran hipotek, yang menambah beban pada keuangan developer.

Awal bulan ini, Beijing mengatakan, ekonomi negara itu telah terjatuh  ke dalam deflasi karena harga konsumen turun pada Juli untuk pertama kalinya dalam lebih dari 2 tahun.

Baca juga: Credit Suisse Diambang Kebangkrutan, Begini Kondisi Terkini

Pertumbuhan yang lemah berarti China tidak menghadapi kenaikan harga yang mengguncang banyak negara lain, dan memicu bank sentral di tempat lain untuk menaikkan biaya pinjaman secara tajam.

Impor dan ekspor juga turun tajam bulan lalu, akibat melemahnya permintaan global mengancam prospek pemulihan negara, dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Angka resmi menunjukkan ekspor turun 14,5 persen pada Juli dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara impor turun 12,4 persen.

Awal minggu ini, pemotongan suku bunga utama dilakukan Bank Sentral China untuk kedua kalinya dalam 3 bulan sebagai upaya meningkatkan perekonomian. (bbc/hm16)

Related Articles

Latest Articles