14.4 C
New York
Sunday, April 28, 2024

Presiden Boleh Kampanye, Salahnya Tuh di Mana?

Oleh: Rika Suartiningsih

Hiruk pikuk jelang pemilu 2024 semakin kencang, bahkan terasa seperti badai yang siap menggucang. Memang tak jauh berbeda dengan Pemilu 2019 atau Pemilu sebelum- sebelumnya. Yah, itulah pesta bukan sembarang pesta. Namanya pesta demokrasi, tentu saja berbeda dengan pesta perkawinan atau hajatan lain yang lebih mengarah ke taskuran. Pesta demokrasi memang sarat saling tuding, saling sikut, saling gimik untuk menjadi pemenang.

Kalau diurutkan berbagai hiruk pikuk jelang Pemilu 2024 ini yang paling terasa adalah urusan Pilpres (Pemilihan presiden). Hingga warga pun lupa kalau kita juga akan memilih Dewan Perwakilan Rakyat. Sejumlah persoalan yang kian diperdebatkan mulai dari keputusan MK yang memangkas usia calon capres dan cawapres, Alutsista, Asam Sulfat, Greenflation, Lithium Ferro-phosphate (LFP), debat recehan, etika berdebat, hingga yang terbaru adalah Presiden boleh berkampanye.

Dalam pernyataannya Jokowi menilai, kepala negara memiliki hak politik atau memberikan dukungan bagi pasangan calon (paslon) tertentu. Walaupun dia mengaku belum memutuskan apakah akan melakukan kewenangan yang dibolehkan oleh undang-undang.

Baca juga:Jokowi Perlihatkan Regulasi Presiden Boleh Kampanye

Seperti diketahui putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon wakil presiden (cawapres) berpasangan dengan Prabowo Subianto yang juga menjabat Menteri Pertahanan (Menhan).

Sebagaimana diatur dalam Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bahwa kampanye pemilu boleh mengikutsertakan presiden, wakil presiden, menteri, dan juga kepala daerah dan wakil kepala daerah.

Beberapa syarat yang harus ditaati oleh presiden jika ingin berkampanye. Di antaranya tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sesuai aturan yang berlaku dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.

Hal tersebut kembali dipertegas Jokowi prihal presiden dan wakil presiden boleh berkampanye, yakni UU Nomor 7 tahun 2017 jelas menyampaikan di pasal 299 bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.

Mengapa hal tersebut akhirnya diperdebatkan. Bolehkan Presiden melakukan kampanye? Nah… problemnya itu ada di sini, yaitu pasal 282 ayat 7 dan 283 ayat 1 dan 2 mengatur larangan berpihak bagi pejabat negara secara umum.

Pesan dari pasal 282 UU No. 7 Tahun 2017 itu terdapat larangan kepada pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Sedangkan pasal 283 ayat 1 menyebutkan bahwa pejabat negara, pejabat stuktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta aparatur sipil negara lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap peserta Pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.

Selanjutnya, pada ayat 2 menyebutkan, “Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat pertama meliputi pertemuan, ajakan, imbauan, seruan atau pemberian barang kepada aparatur sipil negara dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.

Pertanyaannya adalah, apakah presiden, wakil presiden, menteri, dan juga kepala daerah dan wakil kepala daerah buka merupakan pejabat negara? Selain itu, apakah larangan yang dimaksud tersebut bukan merupakan kegiatan berkampanye. Kalimat tersebut memang tidak tegas, bersayap dan bisa dimaknai berbeda.

Baca juga:Jokowi: Presiden Bisa Kampanye, Namun ada Syaratnya

Artinya pasal 281, 282, 283 dan 299 UU Nomor 7 Tahun 2017 mengapa bisa seaneh ini. Hingga pemahamannya menjadi rancu. Ini produk undang-undang yang diartikan oleh masing-masing pihak sesuai dengan pemaknaan dan yang menguntungkannya sendiri. Undang-undang yang dihasilkan dari dan oleh mereka sendiri, ekesekutif dan legislatif, seperti senjata makan tuan.

Entahlah, undang-undang yang dihasilkan oleh DPR sendiri terkait dengan pemilu banyak yang rancu. Undang-undang sepertinya bukan untuk mengatur, tapi justru untuk memuluskan, memuluskan para pembuat undang-undang.

Hal lain juga yang cukup mengherankan, yakni pejabat tinggi negara yang tak mau mundur dari jabatan, meski terlibat dalam kontestasi Pemilihan Presiden (pilpres) 2024. Padahal aparatur sipil negara (ASN) yang hendak mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah saja diharuskan untuk mundur dari statusnya sebagai ASN. Mengapa di jabatan sepenting presiden dan wakil presiden nggak mundur. Dari sini saja kita melihat ada diskriminasi dalam undang-undang pemilu. (Rika)

 

Related Articles

Latest Articles