10.6 C
New York
Sunday, April 28, 2024

Jual Beli Ginjal tak Sekadar Persoalan Kemiskinan

Oleh: Rika Suartiningsih

Jual Beli ginjal kembali mengusik setelah kasusnya sempat menepi. Pada Rabu (5/12/2023) Tim Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumut menambah catatan kejahatan tersebut. Polda Sumut menangkap satu orang saat di Bandara Internasional, Kualanamu, Medan, Sumatera Utara yang diduga seorang perekrut. Dalam aksinya, MM (25) merekrut orang yang menjadi korban dengan cara membuat grup Media Sosial dan mencari pembeli, termasuk dari luar negeri dengan harga yang fantastis, per ginjal sebesar Rp 170 juta rupiah.

Kasus jual beli ginjal kian marak, meski Ikatan Dokter Indonesia (IDI) jelas menegaskan bahwa jual beli organ, termasuk ginjal, adalah perbuatan ilegal. Artinya melawan hukum. Ganjarannya adalah penjara. Tidak perduli alasan menjual ginjal adalah untuk membiayai kehidupan alias miskin.

Perdagangan organ tubuh termasuk ginjal melanggar Undang Nomor 21 Tahun 2007 dan Undang Undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 192 jo Pasal 64 ayat (3).

Namun secara hukum memberikan ginjal secara sukarela alias sebagai pendonor itu bisa diterima. Tentu saja yang namanya penjual gijal ia tidak bisa diartikan sebagai pendonor, pendonor dilarang keras menerima uang atas donor organ tubuh yang diberikan terhadap pasien.

Baca juga:Hendak Transaksi, Penjual Ginjal Asal Medan Ditangkap

Nah! Pintu dan peluang itulah yang dijadikan sindikat untuk melakukan jual beli ginjal. Harga yang sangat pantastis membuat banyak yang tergiur, tidak saja sebagai penjual, para calo pun berkeliaran mencari mangsa untuk mendapatkan keuntungan. Kemiskinan dan terjerat hutang menjadi mangsa para sindikat. Tidak hanya itu, gaya hidup yang hedon juga bisa menjadi mangsa para sindikat untuk mencari anak muda yang memburu kemewahan tapi miskin secara finansial.

Masih ingat dengan Dua WNI yang menjualkan ginjalnya hingga ke Singapura? Tahun 2016 Toni dan Sulaiman Damanik, ditangkap oleh kepolisian Singapura karena menjual ginjal dengan imbalan ratusan juta rupiah. Agar terhindar jerat dari hukum, keduanya memanipulasi dengan mengaku sebagai kerabat dan saudara.

Toni menjual satu ginjalnya pada Juliana Soh, seorang WNI. Operasi cangkok ginjal dilakukan pada Maret 2008. Karena Toni mengaku sebagai anak angkat Juliana sejak umur 10 tahun, operasi pun berlangsung mulus.

Sementara Sulaiman, menjual ginjalnya pada Mr Tang seorang bos jaringan ritel Singapura. Dia mengaku masih bersaudara jauh dengan Tang dan mendonorkan ginjalnya secara sukarela. Namun sebelum operasi berlangsung, kebohongan Sulaiman terkuak.

Larangan jual beli organ tak cuma berlaku di Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga telah tegas melarang praktik tersebut. Tidak tanggung-tanggung, WHO bakal memberikan sanksi terhadap negara yang terbukti melakukan transaksi jual beli ginjal. Dalam konsensus Amsterdam 2004 jelas melarang transaksi jual beli ginjal. Aturan ini harus dipatuhi semua negara.

Prosedur donor ginjal sangat ketat di Indonesia. Tak semua rumah sakit bisa melakukan prosedur tersebut.

Donor juga tidak bisa dilakukan dalam waktu yang relatif cepat. Ada serangkaian tes hingga screening kesehatan yang harus dilakukan pendonor dan juga penerima. Bahkan ada tes psikologis yang harus dilakukan kepada pendonor. Selain itu, pendonor juga diperbolehkan mengundurkan diri meski telah menyatakan bersedia. Pengunduran diri juga tetap diperbolehkan pada detik-detik terakhir menjelang prosedur dilakukan.

Tentu saja hal yang berbeda jika dilakukan secara ilegal. Selain melanggar hukum proses yang dilakukan secara sembunyi sembunyi itu dikhawatirkan tidak memenuhi standar kesehatan sehingga membahayakan.

Pertanyaannya, mengapa jual beli organ tubuh ginjal masih marak terjadi. Meski kita tahu itu perbuatan ilegal yang melawan hukum dan harga organ ginjal bukanlah murah. Apa lagi ditambah dengan prosedur tranpalasi ginjal yang panjang dan harus dipenuhi.

Jumlah penderita penyakit ginjal kronik (PGK) maupun penderita gangguan ginjal tahap akhir (GGTA) datanya belum pasti. Menurut Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) melalui Indonesian Renal Registry (IRR) diperkirakan ada sekitar 25 ribu pasien penyakit ginjal baru setiap tahunnya.

Baca juga:Sadis! Remaja Ini Bunuh Bocah 10 Tahun, Gagal Jual Ginjal

Sebanyak 120 ribu pasien GGTA masih membutuhkan transplantasi. Namun, baru sekitar 12 ribu pasien yang mendapatkan pendonor yang cocok dan melakukan dialisis.

Ginjal merupakan organ yang sangat penting bagi tubuh karena sepasang organ ini memiliki fungsi untuk menyaring dan membuang zat sisa, cairan, mineral, dan racun yang ada di dalam tubuh melalui urine.

Transplantasi ginjal atau cangkok ginjal diperlukan untuk mengganti organ ginjal yang telah rusak berat akibat gagal ginjal. Ginjal yang dicangkok dapat berasal dari donor yang masih hidup atau sudah meninggal dunia.

Di Indonesia biaya untuk melakukan transplantasi ginjal secara legal sangatlah mahal selain prosedur yang rumit. Dan selain itu sangat rumit mencari donor sesuai kriteria yang disebutkan harus dilakukan secara sukarela. Sehingga banyak sekali orang yang melakukan segala cara guna mendapatkan donor ginjal yang tepat dan cepat. Termasuk orang yang sengaja menjual ginjalnya, demi kepentingan pribadi semata.

Faktor legalitas menjadi alasan masih banyaknya pasien memilih melakukan transplantasi ginjal ke luar negeri. Menurut regulasi di dalam negeri, tidak semua rumah sakit bisa melakukan transplantasi ginjal dan ada larangan transaksi jual-beli ginjal.

Jadi, persoalan kompleks ini memang tidak mudah mencari solusinya. Kebutuhan transpalansi ginjal dengan mengorbankan orang lain tentu saja harus dilakukan secara sukarela. Transaksi maupun dengan jual beli bukan tak mungkin dilakukan dengan cara brutal, pemaksaan, hingga memunculkan perdagangan organ tubuh dengan cara yang sadis. Maka dibutuhkan memutuskan mata rantai dari sekecil apa pun. Yah! tugas kepolisian begitu penting menjaga keamanan ini.

Related Articles

Latest Articles