13.6 C
New York
Friday, April 26, 2024

Program Makan Siang Gratis Prabowo-Gibran Disorot Dunia: Risiko Fiskal

Jakarta, MISTAR.ID

Program pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming tentang makan siang gratis menjadi sorotan dunia. Ekonom asing menilai program tersebut meningkatkan risiko fiskal dan ketidakpastian di Indonesia.

Fitch Ratings memperingatkan risiko fiskal jangka menengah meningkat di Indonesia. Program ini diperkirakan menelan anggaran Rp120 triliun di tahun pertama, sebelum meningkat menjadi Rp450 triliun per tahun hingga 2029.

Besaran anggaran itu diprediksi membuat pemerintah harus memproyeksi defisit anggaran melebar dari proyeksi tahun ini, 2,29 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDP), menjadi 2,8 persen dari PDB pada 2025.

Baca juga:Program Makan Siang Gratis, Bank Dunia Ingatkan Sasaran Program

Sementara, Ekonom Nomura Holdings Inc. Euben Paracuelles, Kamis (29/2/24), menilai kebijakan populis itu hanya akan memiliki dampak pertumbuhan sementara. Ia pun menilai anggaran lebih baik dialokasikan untuk program produktif dan infrastruktur.

“Pemerintah baru ini akan menemukan tantangan untuk mundur dari tindakan populis yang didorong dalam kampanye yang sengit,” ujar Pracuelles di Singapura.

Selain itu, rupiah telah merosot 0,1 persen terhadap dolar sejak pemilihan 14 Februari kemarin. Skema-skema yang akan dilakukan dinilai menambah risiko fiskal.

Kepala Utang Pasar Berkembang Aviva Investors Global Services Ltd. Liam Spillane, juga mengaku khawatir bahwa program makan siang gratis itu cenderung menimbulkan ketidakpastian politik.

Baca juga:Program Makan Siang Gratis, Bank Dunia Ingatkan Sasaran Program

Ekonom luar juga menilai bahwa pemimpin Asia Tenggara semakin beralih ke pemberian hadiah guna meraih dukungan di antara rumah tangga yang memiliki penghasilan rendah dan menengah yang tertinggal dalam pemulihan ekonomi usai Covid-19.

Di tengah tabungan yang menipis dan inflasi yang lengket, biaya hidup dan bantuan sosial menjadi masalah pemilih utama, bahkan di negara-negara kaya seperti Singapura.

“Program seperti ini sulit untuk dipertahankan. Anda tidak bisa terus-menerus mensubsidi konsumsi,” ujar Ekonom Senior Natixis SATrinh Nguyen. (cnn/hm17)

Related Articles

Latest Articles