Sunday, February 16, 2025
logo-mistar
Union
POLITIK

Pengamat Menilai Efisiensi Anggaran Hambat Jaminan Pekerjaan

journalist-avatar-top
By
Saturday, February 15, 2025 17:01
54
pengamat_menilai_efisiensi_anggaran_hambat_jaminan_pekerjaan

Pengamat sosial dan politik Sumut, Shohibul Anshor. (f: ist/mistar)

Indocafe

Medan, MISTAR.ID

Pengamat sosial dan politik Sumut, Shohibul Anshor menyebut program jaminan pekerjaan akan terhambat dan berdampak buruk akibat kebijakan pemerintah pusat terkait efisiensi anggaran.

“Lingkungan politik Indonesia saat ini menghadapi tantangan signifikan dalam pengelolaan anggaran negara melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang mencerminkan upaya pemerintah untuk mengoptimalkan APBN dan APBD,” ujarnya, Sabtu (15/2/25).

Menurutnya, pembengkakan organisasi kabinet di bawah Prabowo-Gibran menimbulkan kekhawatiran tentang efektivitas pengelolaan anggaran.

“Penambahan jumlah menteri dapat meningkatkan belanja operasional dan fragmentasi wewenang, sementara korupsi dan pemiskinan struktural melalui Proyek Strategis Nasional memperburuk situasi,” katanya.

Ia menyebut kebijakan jaminan pekerjaan muncul sebagai solusi komprehensif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama kelompok rentan.

“Harusnya dengan mempertimbangkan kelayakan finansial, jaminan pekerjaan diharapkan dapat menjadi prioritas dalam pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan di Indonesia,” ucapnya.

Shohibul mengatakan, kebijakan tersebut sebagai penghematan paradoks. Semua orang tahu bahwa Inpres penghematan anggaran itu akan terbentur dengan berbagai masalah warisan Joko Widodo.

“Paradoks pembengkakan akarnya ada pada kesalahan awal Prabowo memulai 100 hari pemerintahannya. Studi Smith (2020) menunjukkan bahwa kabinet besar cenderung inefisien akibat fragmentasi wewenang dan kompetisi anggaran antar-kementerian,” ujarnya.

Dosen FISIP UMSU itu mengatakan, di Indonesia, riset lembaga penyelidikan ekonomi dan masyarakat FEB UI (2023) menemukan bahwa penambahan 10% jumlah menteri meningkatkan belanja operasional rata-rata 7%.

Hal itu bertentangan dengan prinsip manajemen baru publik yang menekankan birokrasi ramping.

“Ketidakberdayaan menghadapi korupsi menjadi warisan lama yang diperparah dengan langkah pelemahan KPK melalui revisi UU KPK dan enggannya menindaklanjuti aspirasi pembuatan UU Perampasan aset,” katanya.

Selanjutnya ia mengatakan, penyelewengan dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) sebagai sumber pendapatan negara non pajak. Ini sudah berlangsung hampir setua republik dan belum ada orang di Indonesia yang tahu bagaimana cara mengatasinya.

“SDA menyumbang 30% pendapatan non-pajak Indonesia, namun 40% potensinya hilang akibat korupsi,” ucapnya.

Shohibul mengatakan, konsentrasi kekayaan SDA pada elite politik memicu penyalahgunaan wewenang. Kasus korupsi di PT Freeport dan kebakaran hutan gambut (2019) menjadi bukti lemahnya penegakan hukum.

“Proses pemiskinan struktural melalui Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menimpa rakyat kecil. Infrastruktur perlu, tetapi jauh lebih penting rakyat ketimbang oligarki yang mengeruk keuntungan besar di atas penderitaan rakyat,” katanya.

Ia menambahkan, PSN seperti bendungan dan jalan tol sering mengabaikan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) dan partisipasi masyarakat. Jawa Barat menunjukkan bahwa 60% masyarakat terdampak PSN kehilangan mata pencaharian tanpa kompensasi memadai.

Pelemahan pengawasan DPR dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus yang membuat iklim demokratisasi dapat stagnan mengikuti cara Joko Widodo 10 tahun. “Koalisi KIM Plus menguasai 85% kursi DPR, menciptakan mayoritas super yang rentan disalahgunakan untuk mengesahkan kebijakan kontroversial,” katanya.

Ia menjelaskan, koalisi besar di Indonesia cenderung menormalisasi praktik perdagangan kuda dan mengikis oposisi. Implikasinya, fungsi pengawasan DPR melemah, seperti terlihat dalam pengesahan UU Cipta Kerja tanpa partisipasi publik memadai. (ari/hm24)

journalist-avatar-bottomRedaktur Syahrial Siregar