19.1 C
New York
Monday, April 29, 2024

Jaksa Pinangki Jalani Sidang dengan Tangan Terborgol

Jakarta, MISTAR.ID
Pengadilan Tipikor Jakarta kembali menggelar sidang terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari atas kasus dugaan korupsi, pencucian uang, dan pemufakatan jahat, Rabu (30/9/20). Sidang kali ini beragendakan, jaksa Pinangki akan menyampaikan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejagung.

“Persidangan berjalan seperti biasanya, agendanya adalah eksepsi dari penasehat hukum terdakwa atas surat dakwaan penuntut umum,” ujar Humas PN Jakarta Pusat, Bambang Nurcahyono, Rabu (30/9/20).

Sementara itu, tim kuasa hukum Jaksa Pinangki, Aldres Napitupulu mengatakan pihaknya akan menyampaikan hal-hal yang janggal dalam surat dakwaan. Salah satunya mengenai tuduhan menerima sejumlah uang dan pemufakatan jahat.

Baca Juga:Waduh! Gaji Jaksa Pinangki Cuma Puluhan Juta, tapi Bisa Habiskan Miliaran Rupiah Saat Belanja

“Mengenai tuduhan kepada Ibu Pinangki dimana dalam dakwaan ke satu dituduh menerima sejumlah uang, tapi dalam dakwaan ke tiga dituduh bermufakat untuk memberi uang tersebut kepada pejabat yang tidak disebutkan siapa dan apa jabatannya,” kata Aldres.

Diketahui, penuntut umum mendakwa Jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan dakwaan berlapis. Dia didakwa menerima suap USD 500 ribu dari Djoko Tjandra, melakukan pencucian uang, dan permufakatan jahat.

“Telah menerima pemberian uang atau janji berupa uang sebesar USD 500 ribu dari sebesar USD 1 juta yang dijanjikan oleh Djoko Soegiarto Tjandra sebagai pemberian fee dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya,” tutur jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (23/9/20).

Baca Juga:Nyanyian Jaksa Pinangki, Lagu Lama Kongkalikong Aparat-Penjahat

Uang tersebut diperoleh Jaksa Pinangki dari suap pengurusan mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk Djoko Tjandra. Hal itu agar Djoko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani hukuman pidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Awalnya, jaksa Pinangki bertemu dengan Anita Kolopaking dan Rahmat. JPU menyebut Anita merupakan pengacara, sementara identitas Rahmat tidak disampaikan.

Jaksa Pinangki meminta Rahmat memperkenalkannya dengan Djoko Tjandra yang pada akhirnya bermaksud memberikan bantuan pengurusan hukum dan penanganan fatwa MA. Anita Kolopaking pun ikut andil dengan mengaku memiliki rekanan di MA.

Baca Juga:Pemeriksaan Jaksa Pinangki Dalam Kasus Djoko Tjandra Terhalang Kewenangan

“Untuk melancarkan rencana tersebut, Djoko Tjandra meminta kepada terdakwa mempersiapkan dan membuat action plan terlebih dahulu dan membuat surat ke Kejaksaan Agung menanyakan status hukum Djoko Soegiarto Tjandra, lalu terdakwa menyampaikan akan menindaklanjuti surat tersebut,” ujar jaksa.

Pertemuan pun dilakukan di The Exchange 106, Kuala Lumpur Malaysia. Jaksa Pinangki awalnya menawarkan proposal action plan pengurusan fatwa MA dengan biaya USD 100 juta. Namun Djoko Tjandra hanya menyanggupi USD 10 juta.

Uang muka sebesar USD 500 ribu pun diberikan ke jaksa Pinangki melalui almarhum Herriyadi Angga Kusuma yang merupakan adik ipar Djoko Tjandra, dengan perantara Andi Irfan Jaya.

Baca Juga:Ini Jenis Pekerjaan yang Cukup Menjanjikan untuk Masa Depan Pasca Pandemi

“Atas kesepakatan sebagaimana dalam action plan tersebut tidak ada satu pun yang terlaksana padahal Djoko Soegiarto Tjandra sudah memberikan down payment kepada terdakwa melalui Andi Irfan Jaya sebesar USD 500 ribu, sehingga Djoko Soegiarto Tjandra pada bulan Desember 2019 membatalkan action plan,” kata jaksa.

Jaksa Pinangki yang telah menerima uang USD 500 ribu dari Djoko Tjandra melalui Andi Irfan Jaya, sebenarnya diminta memberikan USD 100 ribu kepada Anita Kolopaking. Namun nyatanya hanya diberikan USD 50 ribu saja.

“Sehingga terdakwa menguasai USD 450 ribu atau setidak-tidaknya sekitar sejumlah itu supaya mengurus fatwa MA melalui Kejaksaan Agung agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK nomor 12 tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi sehingga Joko Tjandra bisa kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana yang bertentangan dengan kewajiban terdakwa selaku PNS atau penyelenggara negara yaitu sebagai jaksa,” terangnya.(lpt6/hm10)

Related Articles

Latest Articles