26 C
New York
Wednesday, July 17, 2024

Proses Pendidikan Inklusif di Indonesia, Psikolog: Masih Banyak Sekolah Belum Siap

Medan, MISTAR.ID

Psikolog pendidikan sekaligus pendiri Biro Psikologi dan Pendidikan Rayya Consultant, Kiki Fatmala Sari menyebutkan pendidikan inklusif untuk anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) sejauh ini masih terbatas pada jumlah sekolah yang tersedia untuk menerima peserta didik ABK.

“Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI menyebut saat ini sudah ada sekitar 40.000 sekolah Satuan Pendidikan Penyelenggara Pendidikan Inklusif (SPPPI) yang merupakan penugasan wajib untuk menyediakan minimal satu sekolah inklusi tingkat menengah atas per kabupaten/kota, serta satu sekolah inklusi tingkat dasar dan satu sekolah inklusi tingkat menengah pertama per kecamatan,” jelasnya, Rabu (17/7/24) di Sekolah Fitrah Khalilah, Medan.

Namun, menurutnya, perkembangan secara kuantitas ini tidak beriringan dengan kesiapan sekolah dalam menjalankan program tersebut. Sedangkan pelaksanaan pendidikan inklusif masih terbatas pada jumlah sekolah yang tersedia untuk menerima peserta didik ABK.

Baca juga: Dulu Jemput Bola, Kini SLB B Karya Murni Dikenal dari Berbagai Daerah

“Tetapi, kesiapan sekolah dalam penyelenggaraannya terutama kesiapan guru dan kapabilitasnya untuk mendidik ABK masih belum maksimal. Makanya, kebanyakan sekolah dinilai masih belum siap menerapkan pendidikan inklusif sesuai dengan yang diamanatkan oleh peraturan tersebut,” ungkapnya.

1. Terbatasnya GPK Pada Pendidikan ABK Jadi Masalah Utama

Dalam hal ini Kiki menilai salah satu permasalahan yang dihadapi adalah karena terbatasnya guru pembimbing khusus (GPK). Seharusnya ABK didampingi oleh guru pendamping khusus. GPK ini yang akan membantu anak-anak untuk menjalankan sistem pendidikan di sekolah.

“Ini bertujuan untuk anak-anak dengan kelainan baik fisik, emosional, mental, intelektual, maupun sosial. Namun, untuk saat ini keberadaan GPK itu sangat terbatas dalam pendidikan inklusif, peserta didik ABK digabung dengan anak-anak lainnya di sekolah reguler,” jelasnya.

Dikatakannya, anak-anak dengan potensi kecerdasan dan bakat istimewa itu bisa mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak pada umumnya, dan dalam menjalani pendidikan di sekolah reguler tersebut, peserta didik ABK ini harus didampingi oleh GPK yang memang ditugaskan secara khusus untuk mendampingi mereka.

“GPK itu tugasnya memberikan membimbing ABK sesuai dengan program. ABK ini kan memiliki karakteristik sendiri, seperti kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Tapi, pada kenyataannya tidak semua peserta didik ABK di sekolah inklusi memiliki GPK. Sehingga mereka hanya mengikuti aktivitas yang sama seperti anak reguler, tanpa mengoptimalkan kemampuan yang dimiliki berdasarkan karakteristik kekhususannya,” lanjut wanita yang juga menjabat sebagai Koordinator Program Inklusi di Yayasan Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah (YPSA) Medan itu.

Baca juga: SLB B Karya Murni, Sekolah Tunarungu Tetap Menerima Siswa dengan Kebutuhan Ganda

2. Perlunya Kesiapan GPK dan Dukungan Masyarakat

Berdasarkan data Kemendikbudristek pada Desember 2023, dari sebanyak 40.164 satuan pendidikan di Indonesia yang memiliki peserta didik ABK, hanya 5.956 sekolah, atau sekitar 14,83 persen saja yang memiliki GPK.

Kiki kemudian menambahkan bahwa di Sumatera Utara saat ini sudah ada 1.767 sekolah SPPPI dengan peserta didik ABK, di mana sebanyak 237 sekolah di antaranya mulai dari jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD), hingga sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA) yang ada di Medan.

“Selain itu, kurikulum juga perlu dipahami oleh GPK. karena perlu dilakukan penyesuaian pada kurikulum dalam melaksanakan pendidikan inklusif. Bukan hanya kuantitas, peningkatan kualitas GPK juga menjadi permasalahan lain yang perlu mendapatkan perhatian,” tukasnya.

Sementara itu Kiki yang juga merupakan alumni Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara itu menyebut, ini dilakukan karena sebagian besar peserta didik ABK tidak akan bisa mengikuti kurikulum reguler dan menjadi keterbatasan. Sehingga dalam  merancang program pembelajaran khusus yang disebut dengan Individualized Education Program (IEP) atau Program Pendidikan Individual (PPI) GPK harus mampu.

Baca juga: LMS Ciptakan Revolusi Pendidikan di SLB Negeri Pembina

“Padahal, seharusnya GPK mempunyai  program individual untuk anak, supaya anak ini bisa mencapai hal yang belum mampu dilakukannya dan mengoptimalkan kemampuan anak. Sebagian sekolah yang sudah ada yang memiliki GPK, ternyata  mereka belum memahami tentang adanya program pendidikan individual. Jadi, selama ini beberapa sekolah yang saya perhatikan, GPK hanya mendampingi anak tanpa dia memiliki program khusus untuk anak itu,” terangnya menjelaskan.

3. Masih Banyak Penolakan Pendidikan ABK dan Stigma di Masyarakat

Masih di tempat yang sama Yenni Merdeka yang juga merupakan psikolog anak dan pendiri Sekolah Fitrah Khalilah Medan menyampaikan kebanyakan sekolah yang belum paham terkait penerapan program tersebut yang saat ini meluncurkan pendidikan inklusif, baik sekolah pemerintah maupun swasta, hingga para GPK.

“Banyak guru yang bekerja sebagai GPK, tapi mungkin saja belum paham tekniknya, bagaimana cara merancang program pembelajarannya. Karena ternyata banyak sekolah yang menerapkan pendidikan inklusif, tapi belum paham tata caranya,” bebernya.

Baca juga: Membangun Era Pembelajaran Online untuk Guru SLB

Bukan hanya itu, penerimaan dari lingkungan sekitar juga sangat penting dalam keberhasilan pendidikan inklusif. Tapi, pada kenyataannya masih banyak penolakan terhadap ABK, karena stigma negatif yang selama ini tumbuh di tengah-tengah masyarakat.

“Contohnya seperti orang tua mendaftarkan anaknya ke kami, dan dia mengetahui bahwa ada anak lain yang mempunyai kebutuhan khusus, dia takut kekhususan ini akan menular ke anaknya yang normal,” ungkap Yenni mencontohkan yang terjadi di sekolah miliknya, saat menerima peserta didik ABK.

4. Perlunya Sosialisasi Pendidikan Inklusif di Masyarakat

Maka dari itu Yenni menilai bahwa pada pelaksanaan pendidikan inklusif dengan menyertakan peserta didik ABK ini harus disosialisasikan lebih deras lagi di masyarakat.

Baca juga: Guru SLB Songsong Era Digital di Dunia Pendidikan

“Hal-hal semacam ini juga penting diedukasi ke masyarakat bahwa sebenarnya kita bisa saling membantu jika berdampingan hidup. Padahal kehadiran ABK di sekolah juga bisa membantu anak-anak reguler agar belajar yang namanya empati dengan praktek langsung, gimana sih cara mereka berinteraksi dengan teman-temannya yang berkebutuhan khusus,” paparnya.

Menyambung hal itu, Kiki kemudian menegaskan kembali bahwa hal ini sesuai amanat undang-undang, semua anak berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sama.

“Sebagian masyarakat juga berpikir, bahwa mereka sekolah di SLB (sekolah luar biasa). Padahal, secara alternatif juga bisa di sekolah inklusi, terutama untuk anak yang tidak mempunyai masalah intelektual yang berat. Dan bagi anak yang mempunyai special needs, anak yang disabilitas, atau ABK, padahal mereka juga berhak untuk sekolah di sekolah mana saja,”pungkas Kiki mengakhiri. (dinda/hm17)

Related Articles

Latest Articles