6.9 C
New York
Saturday, April 27, 2024

18 Mei 1998 Awal Rezim Orde Baru Runtuh, Ini Kisahnya

Jakarta, MISTAR.ID
18 Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil menduduki Gedung DPR/MPR di Jakarta menuntut pelaksanaan sidang istimewa. Momen penting dalam pergerakan mahasiswa yang telah 22 tahun itu berlalu menuntut Soeharto berhenti dari jabatan presiden setelah 32 tahun berkuasa.

Pergerakan mahasiswa serta elemen masyarakat terhadap Rezim Orde Baru yang sudah muak dengan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sebenarnya sudah nampak beberapa tahun sebelumnya. Sebagian besar dilakukan para aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD), hingga kemudian mereka ditangkapi.

Kemudian pada 1998, saat badai krisis semakin menghantam perekonomian Indonesia, gelombang pergerakan mahasiswa kembali membesar. Mahasiswa di berbagai daerah menggelar unjuk rasa di kampus masing-masing.

Demonstrasi menuntut Soeharto mundur juga dilakukan di Universitas Trisakti, Jakarta. Mahasiswa dari berbagai kampus turut serta. Pada 12 Mei, mereka ingin melakukan long march ke Gedung DPR/MPR dan melanjutkan orasi di sana.

Namun, aparat menghadang. Suasana kacau, hingga empat mahasiswa Universitas Trisakti gugur akibat tembakan peluru tajam. Mereka adalah Hafidin, Roiyan, Hery Hartanto, Hendriawan, dan Elang Mulya Lesmana.

Sejak itu, semakin banyak mahasiswa dari berbagai daerah yang datang ke Jakarta memusatkan pergerakan di ibu kota. Mahasiswa juga tidak lagi meneriakkan kritik di dalam kampus, melainkan sudah turun ke beberapa ruas jalan. Sementara itu, Presiden Soeharto masih berada di Kairo, Mesir.

Di samping gerakan mahasiswa, kerusuhan juga melanda Jakarta pada 13-15 Mei. Ribuan gedung, rumah, kantor dan pusat perbelanjaan dijarah. Kendaraan dibakar dan dicuri. Lebih dari 1.200 orang diperkirakan mati terbakar di dalam pertokoan saat melakukan penjarahan.
Presiden Soeharto tiba kembali di Jakarta pada 15 Mei dari Kairo, Mesir. Dia mendapati suasana yang mencekam. Langit ibu kota juga sudah diwarnai asap yang membubung akibat penjarahan di mana-mana.

Pada 17 Mei, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen TNI Prabowo Subianto mendatangi kediaman Hery Hartanto, mahasiswa Trisakti yang tewas. Di sana, Prabowo memegang Alquran, mengangkat kitab suci itu di atas kepalanya dan bersumpah bahwa ia tidak memerintahkan pasukannya melakukan penembakan. Ayah Hery, Sjahrir Mulyo Utomo tidak tahu harus percaya atau tidak kepada ucapan Prabowo.

Pada 18 Mei, mahasiswa dari berbagai elemen menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR/MPR. Kala itu, MPR masih menjadi lembaga tertinggi, yakni pemberi mandat kepada presiden.

Sekitar pukul 11.00 WIB, sebagian mahasiswa dipersilakan masuk untuk berbicara dengan anggota DPR ihwal tuntutan mereka. Namun, mahasiswa yang lain turut pula masuk ke dalam.

Baru pada pukul 13.00 WIB, mereka berhasil masuk ke dalam. Dari berbagai kampus dan elemen, ribuan mahasiswa lalu membanjiri Gedung DPR/MPR. Lagu-lagu perjuangan dinyanyikan. Bendera Merah Putih dikibarkan.

Tak sedikit dari mereka yang sujud. Mensyukuri gerakan yang selama ini dilakukan telah mengalami kemajuan yang signifikan, yakni menduduki gedung parlemen.

Selain mahasiswa, hadir pula sejumlah tokoh antara lain, WS Rendra, Solichin GP, Sri Edi Swasono, Ali Sadikin, YB Mangunwijaya dan beberapa lainnya. Amien Rais juga ada di sana lantaran tengah mengadakan audiensi dengan Komisi II DPR.

Ketua DPR kala itu, Harmoko dikenal sebagai orang yang dekat dengan Soeharto. Sebelum menjadi pimpinan parlemen, dia adalah Menteri Penerangan. Harmoko juga disebut-sebut sebagai salah satu orang yang kerap meminta Soeharto untuk kembali menjadi presiden. Walhasil, Soeharto kembali menjabat mulai Maret 1998 sebagai hasil Pemilu 1997.

Namun, ketika mahasiswa berhasil menduduki gedung parlemen, Harmoko menunjukkan gelagat sebaliknya. Dia meminta Soeharto dari jabatan presiden mundur. Pernyataan Harmoko tersebut sontak menjadi sorotan karena selama ini dikenal sebagai orang dekat dan selalu mendukung Soeharto.

“Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri,” kata Harmoko saat konferensi pers di Gedung DPR/MPR pada 18 Mei silam.

Tak seperti Harmoko, Panglima ABRI kala itu yakni Wiranto masih mendukung Soeharto. Dia menyatakan bahwa pernyataan Harmoko tidak mewakili semua fraksi yang ada di DPR/MPR alias ucapan pribadi.

Meski Harmoko sudah meminta Soeharto mundur, mahasiswa tak langsung lega dan meninggalkan gedung parlemen. Ada sebagian yang pergi, namun tidak sedikit yang memilih untuk bertahan.

Mereka tetap ingin MPR menggelar sidang istimewa untuk mencabut mandat Soeharto sebagai presiden. Pada keesokan harinya, yakni 19 Mei, gelombang mahasiswa yang datang ke Gedung DPR/MPR semakin besar.

Soeharto semakin berada di posisi terdesak. Semakin berada di ujung tanduk ketika mendapat kabar 14 menteri Kabinet Pembangunan VII mengundurkan diri pada 20 Mei 1998 malam hari. Mereka adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, dan lainnya.

Soeharto sudah tak punya banyak pilihan. Ribuan mahasiswa di berbagai daerah menuntut mundur dan bahkan orang-orang terdekatnya sudah menjauh.

Pada 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Sorak sorai mahasiswa lalu menggema di langit. Tampuk pemerintahan kemudian dijabat oleh BJ Habibie.

Sumber: CNNIndonesia
Editor: Andy Hutagalung

Related Articles

Latest Articles