Thursday, April 24, 2025
home_banner_first
HUKUM

Tiga Ahli Diperiksa dalam Sidang Prapid Ramli Sembiring di PN Medan

journalist-avatar-top
Senin, 14 April 2025 21.55
tiga_ahli_diperiksa_dalam_sidang_prapid_ramli_sembiring_di_pn_medan

Salah satu ahli saat diperiksa dalam sidang prapid Ramli Sembiring di PN Medan. (f:deddy/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Tiga orang ahli diperiksa dalam sidang praperadilan (prapid) lanjutan terkait sah atau tidaknya penetapan tersangka terhadap mantan Kabagbinopsnal Ditreskrimum Polda Sumatera Utara (Sumut), Ramli Sembiring.

Dari ketiga ahli yang diperiksa di Pengadilan Negeri (PN) Medan tersebut, dua orang di antaranya dihadirkan oleh kuasa hukum Ramli, sedangkan orang lagi dihadirkan kuasa hukum termohon I.

Panca Sarjana Putra sebagai ahli hukum pidana dan Dani Sintara sebagai ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara merupakan dua orang ahli dari Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) yang dihadirkan pihak kuasa hukum Ramli.

Sementara itu, pihak kuasa hukum termohon I menghadirkan Andi Lubis sebagai ahli hukum pidana dari Universitas Medan Area (UMA).

Amatan Mistar, persidangan yang digelar di Ruang Sidang Cakra 6 PN Medan ini berlangsung sejak sekitar pukul 10.30 WIB dan berakhir sekitar pukul 17.15 WIB. Ketiga ahli diperiksa secara bergantian.

Ahli hukum tata negara dan hukum administrasi negara, Dani Sintara, menjelaskan tentang kewenangan penanganan sebuah perkara tindak pidana korupsi (Tipikor).

"Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) No. 122 Tahun 2024, Kapolri memberikan pendelegasian kewenangannya itu kepada Korps Pemberantasan (Kortas) Tipikor. Jadi di luar Kortas Tipikor itu tidak berwenang melakukan pemberantasan Tipikor," katanya.

Dikatakan Dani, apabila sebuah perkara korupsi ditangani oleh pihak kepolisian, maka yang berwenang melakukan penyidikannya ialah Kortas Tipikor.

"Sekarang ini sebenarnya masalah domain kewenangan, persoalan ini tadikan penanganan perkara ini dilakukan oleh Bareskrim Polri, sedangkan Kortas Tipikor sudah ada," ujarnya.

Menurut Dani, apabila penyidikan tetap dilakukan oleh Bareskrim Polri, maka hal tersebut telah menyalahi aturan perundang-undangan dan cacat prosedur.

"Itu akan cacat prosedur (apabila tetap Bareskrim Polri yang menangani perkara Tipikor ini). Artinya, sesuai penjelasan saya tadi, Bareskrim melaksanakan kewenangan itu tanpa dasar kewenangan, karena kewenangan itu ada pada Kortas Tipikor. Tapi, kenapa dilaksanakan oleh Bareskrim?" ucapnya.

Kuasa hukum Ramli, Irwansyah Nasution, pun mengatakan bahwa perkara yang menyeret kliennya ini semestinya ditangani oleh Kortas Tipikor, bukan Bareskrim Polri.

"Dalam hal ini, seharusnya yang melakukan pengusutan itu adalah Kortas Tipikor, bukan Bareskrim Polri. Kami juga mempertanyakan perintah dari Pasal 109 KUHAP dan putusan Mahkamah Konstitusi No. 130 yang menyatakan penyidik wajib memberikan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP), kepada pelapor, terlapor, dan jaksa," katanya.

Pria yang akrab disapa Ibe tersebut mengaku bahwa kliennya tidak pernah menerima SPDP dari penyidik.

"Dalam hal ini, klien kami tidak pernah menerima SPDP. Sehingga, kami bertanya tadi kepada ahli mengenai bagaimana apabila penyidik melanggar salah satu SOP? Maka dijawab ahli, itu batal demi hukum," ujarnya.

Lebih lanjut, Ibe pun sempat menanyakan soal barang bukti (barbuk) terkait apakah barbuk harus diperlihatkan atau tidak kepada calon tersangka korupsi.

"Tadi ahli juga menjawab barbuk wajib diperlihatkan. Kalau tidak diperlihatkan, maka cacat dan proses penyidikannya tidak benar," tuturnya.

Ia pun mengatakan bahwa dalam kasus ini kliennya menjadi terlapor, maka sepatutnya SPDP tersebut diterima oleh kliennya. Namun, kata dia, hingga saat ini pihaknya tak kunjung menerima SPDP tersebut.

"Ya, (mereka terlapor) di dalam laporan internalnya (LI) penyidik. Artinya, mereka berhak menerima SPDP, tapi tidak pernah diberikan. Jangankan SPDP, selama pemeriksaan saja, mereka tidak pernah diperlihatkan barbuknya," kata Ibe.

Ibe pun mengaku telah melihat bukti-bukti surat dari pihak termohon I dan II. Menurut dia, pihak termohon I dan II tidak ada menyerahkan barbuk berupa penyitaan uang diduga hasil pemerasan yang dilakukan kliennya.

"Kami juga melihat dokumen-dokumen yang diserahkan termohon I, tidak ada berita acara penyitaan terhadap uang. Kan klien kami disangkakan menggunakan jabatannya dengan sewenang-wenang untuk mendapatkan keuntungan, menurut penyidik ada uang Rp431 juta dan Rp4,7 miliar. Namun, tidak ada disita dan tidak ada berita acara penyitaannya juga," ujar Ibe.

Untuk itu, Ibe bermohon kepada Philip M. Soentpiet supaya memutuskan prapid ini secara objektif tanpa takut dengan tekanan dari pihak manapun.

"Kami bermohon kepada hakim supaya perkara ini diputus dengan seadil-adilnya. Kalau menurut hakim ada cacat administrasi yang dilakukan oleh penyidik, maka berilah putusan yang seadil-adilnya. Jangan pernah takut akan intervensi dari kekuasaan manapun. Berlakulah hakim sebagaimana hakim yang memberikan rasa keadilan," tuturnya.

Diketahui, pihak-pihak termohon dalam prapid ini, yaitu Pemerintah RI Cq Kapolri Cq Bareskrim Polri Cq Direktorat Tipikor Cq Direktur Tipikor sebagai termohon I dan Kapolda Sumut Cq Direskrimsus sebagai termohon II. (deddy)

REPORTER: