15.6 C
New York
Sunday, May 19, 2024

Periode 2017-2023, YLBHI Tangani 106 Konflik Agraria dengan Kekerasan Terhadap Petani

Medan, MISTAR.ID

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menangani sebanyak 106 konflik agraria dengan kekerasan terhadap petani yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2017 hingga 2023

Hal itu disampaikan Wakil Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) YLBHI melalui Medan, Muhammad Alinafiah Matondang, kepada Mistar via seluler, Senin (25/9/2023).

“YLBHI mendata kekerasan terhadap petani dari penanganan kasus 18 LBH Kantor selama tahun 2017–2023. Sebanyak 106 konflik agraria dan proyek strategis nasional (PSN) ditangani YLBHI–LBH kantor di seluruh Indonesia,” ungkapnya.

Baca Juga: Peringati Hari Tani Nasional, YLBHI Soroti Tingginya Penindasan dan Ketidakadilan di PSN

Data tersebut, menurut Alinafiah, mencakup wilayah konflik sumber daya alam (SDA), khususnya di wilayah PSN.

“Data ini terbagi dalam beberapa variabel. Di antaranya ialah jumlah konflik, luas wilayah konflik dan jumlah korban, pelaku kekerasan dan kriminalisasi, pola kekerasan, Undang-Undang (UU) yang sering digunakan, penyebab dan dampak struktural konflik,” jelasnya.

Dipaparkan Alinafiah, luas wilayah yang berkonflik kurang lebih 800.000 hektare (ha) dengan lebih dari 1 juta rakyat menjadi korban. Sektor perkebunan mendominasi dengan 42 kasus dan 37 kasus dari sektor pertambangan.

Sementara itu, sektor PSN yang baru muncul 7 tahun terakhir menempati posisi ketiga, karena negara beserta kekuatan represif tampil sebagai pemain utama dalam konflik.

Baca Juga: Siagakan di Objek Wisata, Kapolres Samosir Kerahkan Personil Sat Pam Obvit

“Kemudian, diikuti dengan konflik PSN dengan 35 kasus. Tingginya konflik di sektor perkebunan setidaknya disebabkan oleh 2 faktor, yaitu warisan ketimpangan penguasaan lahan yang tidak pernah terselesaikan, dan melibatkan dua aktor yang kuat, yakni negara melalui perkebunan PTPN dan swasta memiliki hak guna usaha (HGU) skala luas,” paparnya.

Alinafiah pun menyebut bahwa konflik-konflik agraria disertai dengan kekerasan terhadap rakyat tersebut telah berdampak struktural pada pelanggaran hak-hak sipil dan politik.

“Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICCPR dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR,” sebutnya. (Deddy/hm22)

Related Articles

Latest Articles