7.8 C
New York
Friday, April 19, 2024

Rupiah Melemah, Rp14.933 per Dolar AS

Jakarta / Mistar
Nilai tukar (kurs) rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta, Selasa (11/4/23) pagi, turun 31 poin atau 0,20 persen ke posisi Rp14.933 per dolar AS dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan hari sebelumnya Rp14.902 per dolar AS.

Rupiah melemah tipis melawan dolar AS pada pembukaan perdagangan. Awal pekan kemarin rupiah mampu melanjutkan penguatan setelah sebelumnya melesat empat pekan beruntun.

Melansir Data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di Rp14.920/US$, melemah 0,14% di pasar spot.

Kemarin Bank Indonesia (BI) melaporkan melaporkan cadangan devisa per akhir Maret 2023 adalah sebesar US$ 145,2 miliar, naik US$ 4,9 miliar dari Februari.

Baca Juga:Rupiah Melemah di Tengah Aksi Ambil Untung

Setelah mengalami tren penurunan yang panjang, cadangan devisa akhirnya mampu naik lima bulan beruntun.

Selama periode tersebut, Cadev sudah melesat US$ 15 miliar, dan mendekati rekor tertinggi sepanjang masa US$ 146,9 miliar yang dicapai pada September 2021.

Posisi cadangan devisa saat ini berada di level tertinggi sejak Desember 2021.

Meski demikian, data tersebut belum memberikan dampak yang besar, sebab kenaikannya terjadi karena penarikan pinjaman pemerintah.

Baca Juga:Rupiah dan IHSG Kompak Menguat

“Peningkatan posisi cadangan devisa pada Maret 2023 antara lain dipengaruhi oleh penerimaan pajak dan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah,” tulis BI dalam keterangan resminya, Senin (10/4/23).

Sementara, untuk operasi moneter Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) yang dikeluarkan BI sejak 1 Maret lalu masih belum memberikan dampak yang signifikan terhadap cadangan devisa.

Pelaku pasar saat ini menanti rilis data inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Amerika Serikat yang bisa menentukan kebijakan moneter The Fed.

Baca Juga:Hari Ini, Rupiah Bergerak Naik

Data tersebut akan dirilis pada, Rabu (12/4/23) nanti, berdasarkan survei Reuters CPI diprediksi tumbuh 5,2% year-on-year (yoy) pada Maret, turun dari bulan sebelumnya 6% (yoy).

Namun, yang menjadi masalah, CPI inti diprediksi tumbuh 5,6% (yoy) lebih tinggi dari sebelumnya 5,5% (yoy).

CPI inti tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan, artinya inflasi di sektor yang tidak volatil sulit turun.

Baca Juga:Nilai Tukar Rupiah Lemah Pagi Ini

Dengan demikian, ada risiko The Fed akan kembali agresif menaikkan suku bunganya, apalagi pasar tenaga kerja masih kuat dan inflasi berdasarkan personal consumption expenditure (PCE) juga sulit turun.

Tetapi di sisi lain, setelah kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) kesehatan perekonomian AS mulai diragukan.

Sehingga pasar menjadi sulit memprediksi ke mana arah kebijakan The Fed nantinya.(cnbc/hm10)

Related Articles

Latest Articles