“Itu adalah hidangan yang selalu kami makan bersama. Saya menyukai begitu banyak hidangan Melayu, tetapi hidangan itu tetap menjadi favorit saya.”
Makan bersama hidangan yang dimasak ayahnya membuat Mahiran menyadari betapa pentingnya berbagi makanan sebagai keluarga.
“Itulah mengapa saya ingin memulai sesuatu yang berhubungan dengan makanan. Agar saya dapat menyatukan keluarga dan orang-orang untuk makan makanan tradisional Melayu,” imbuh Mahiran.
Baca Juga:Â Sulit Dapat Kuliner Halal di Medan, Diskop UKM Perindag: Faktanya Mudah
Antara tahun 1988 dan 1992, ketika Mahiran berusia pertengahan 20-an, dia menyewa ruang di sebuah kafetaria kecil di South Bridge Road untuk menjual nasi padang.
“Bisnis itu berjalan baik tetapi saya ingin itu tumbuh. Di sinilah saya belajar lebih banyak tentang branding dan memperluas bisnis saya – saya bermimpi untuk mengubahnya menjadi restoran fisik,” jelasnya.
Ketika harus memberi nama restorannya, tanpa ragu Mahiran menamai sesuai nama sang ibu sebagai tanda cinta dan penghormatannya.
Memilih Lokasi Berisiko
Selama beberapa tahun, sambil mengelola bisnis dan mengasuh empat anak mereka – Ismail (9), Mastura (8) Maria (7) dan Ibrahim (6), Mahiran dan suaminya Didih Ibrahim berhasil mengumpulkan cukup uang untuk mewujudkan impian mereka.
