12.6 C
New York
Saturday, April 27, 2024

Pengamat: Rencana Penerapan Kelas Standar Bakal Menambah Beban Masyarakat

Jakarta, MISTAR.ID

Layanan kelas BPJS Kesehatan yang semula terdiri dari peserta penerima bantuan iuran (PBI) serta kelas mandiri 1, 2, dan 3 akan diganti dengan dua kelas standar, yaitu bagi peserta jaminan kesehatan nasional (JKN) dan non-JKN. Rencananya, kebijakan ini akan diterapkan mulai 2022.

Perubahan kelas ini menurut BPJS bertujuan untuk meningkatkan kualitas standar pelayanan rawat inap kepada peserta. Kendati begitu, belum ada keputusan final untuk besaran iuran bagi kedua kelas ini.

Iuran tersebut saat ini masih dikalkulasi oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan Kementerian Kesehatan untuk selanjutnya diajukan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bila disetujui, maka aturan akan diterbitkan, lalu diteruskan dengan uji publik, sosialisasi, hingga uji coba di lapangan.

Baca juga: BPJS Kesehatan Luncurkan Care Center 165, Untuk Mempermudah Pelayanan Kepada Masyarakat

“Iuran tentu akan memperhitungkan standar praktik aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku,” ungkap Anggota DJSN Muttaqien,Senin (27/9/21).

Bila dihitung, artinya, waktu persiapan untuk perubahan kelas standar cukup sempit. Lantas bagaimana kesiapan dari BPJS Kesehatan?

Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan perusahaan akan siap menjalankan dengan berbagai kebijakan final dari DJSN dan pemerintah. Perusahaan turut meyakini bahwa kebijakan itu sudah dikaji dengan seksama oleh keduanya.

Apalagi tambahnya, itu merupakan amanah dari Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

“Tentu yang harus dipahami bahwa konsep lagi disusun, belum selesai, kalau sudah selesai tentu akan disosialisasikan,” ujar Iqbal.

Lebih lanjut, BPJS Kesehatan turut percaya dengan perhitungan iuran kepesertaan yang akan diberikan oleh DJSN dan pemerintah, baik untuk peserta JKN maupun non-JKN. Di sisi lain, ia meminta publik tidak buru-buru khawatir bahwa besaran iuran dan penerapan fasilitas akan memberatkan peserta yang saat ini ada di kelas mandiri.

“Kontribusi dari masing-masing (kelas) tentu ditetapkan secara bijaksana oleh pemerintah. Tapi jangan cuma melihat kelas, nanti yang selalu sehat akan bilang rugi bayar iuran karena tak pernah menikmati jaminan karena tidak sakit. Tak ada bicara untung dan rugi di sini,” ucapnya.

Lalu, apa untung rugi dari rencana penerapan kelas standar ini?

Ekonom Indef Tauhid Ahmad menilai dua kelas standar ini memiliki nilai lebih atau plus dari sisi kesederhanaan. Artinya, jenjang tarif dan pelayanan tidak berbeda bagi masyarakat, khususnya bagi non-JKN.

Harapannya tentu kualitas layanan rawat inap bagi peserta kelas mandiri 3 yang saat ini paling rendah bisa setara di tengah dengan para peserta lain yang sekarang ada di kelas mandiri 1 dan 2, sehingga tidak ada kesenjangan.

Baca juga: Mobile JKN Solusi Pelayanan BPJS Kesehatan di Masa Pandemi Covid-19

Dari segi administrasi pun, diharapkan bisa lebih sederhana sehingga meningkatkan kemudahan bagi BPJS Kesehatan selaku pengumpul iuran. Dampaknya juga diharapkan bisa memperbaiki kondisi keuangan perusahaan ke depan.

Kendati begitu, rencana ini bukan berarti tanpa celah alias ada juga kekurangannya (minus). Mulai dari masyarakat, rumah sakit (RS), hingga BPJS Kesehatan itu sendiri.

Bagi masyarakat, Tauhid menilai rencana ini tentu akan memberatkan peserta dari masyarakat bawah. Sebab, penerapan dua kelas standar ini santer diisukan akan membuat iuran peserta non-JKN dipukul rata menjadi satu tarif di kisaran Rp50 ribu sampai Rp75 ribu per peserta.

Bila dibandingkan dengan besaran iuran berdasarkan kelas layanan saat ini, maka lebih tinggi dari iuran peserta kelas mandiri 3 sebesar Rp42 ribu per peserta. Namun, lebih rendah dari peserta kelas mandiri 1 sebesar Rp150 ribu dan kelas mandiri 2 Rp100 ribu per peserta.

“Minusnya, yang paling terasa adalah masyarakat kelas bawah atau sekarang kelas mandiri 3, yang pasti akan terasa di tahap awal pembayaran iurannya, karena bayaran (iuran) mereka naik. Kalau PBI tidak terasa karena bayarannya masih kecil dan ditanggung negara,” kata Tauhid.

Sementara bagi RS, mereka harus melakukan penyesuaian infrastruktur dan fasilitas bagi pasien. Padahal, saat ini segalanya sudah diatur berdasarkan jenjang layanan kelas yang berlaku di internal RS maupun kelas berlaku di program JKN.

“Khawatirnya, ketersediaan ruangan akan memberi beban tambahan bagi RS karena standarnya lebih tinggi lagi. Padahal saat ini pekerjaan mereka sudah berat karena seluruh fasilitas masih untuk penanganan covid-19, belum kembali ke normal, ini mungkin butuh waktu,” jelasnya.

Baca juga:BPJS Lubuk Pakam Perkenalkan Layanan Non Tatap Muka Pendawa pada Masyarakat

Sedangkan bagi BPJS Kesehatan, Tauhid menilai rencana ini bukan tidak mungkin justru menambah beban defisit keuangan bagi perusahaan di awal-awal implementasi. Pasalnya, penerimaan iuran dari peserta mandiri kelas 1 dan 2 akan menurun secara nominal, sementara penerimaan dari peserta mandiri kelas 3 naik.

“Masalahnya ketika naik, misal (yang semula peserta kelas mandiri 3) dari Rp42 ribu ke Rp75 ribu per peserta karena harus dikali semua anggota keluarga, misal 4-5 orang, ini pasti akan terasa pengeluarannya. Jadi khawatirnya tidak semua anggota keluarga didaftarkan dan ada peluang kepatuhan membayar yang menurun, sehingga ngadat, problem,” tuturnya.

“Mungkin tahun-tahun awal akan terjadi penurunan (peserta dan iuran), meski bukan tidak mungkin di tahun-tahun berikutnya kalau ada perbaikan layanan bisa meningkat lagi. Tapi in long term, keuangan BPJS Kesehatan bisa lebih baik, meski defisit di tahun awal, mungkin 2-3 tahun bisa membaik,” sambungnya. (cnn/hm06)

 

Related Articles

Latest Articles