Monday, January 20, 2025
logo-mistar
Union
NASIONAL

Kemerdekaan Pers ‘Diberangus’ Organisasi Media Soroti Draf UU Penyiaran

journalist-avatar-top
By
Monday, May 13, 2024 08:54
16
kemerdekaan_pers_diberangus_organisasi_media_soroti_draf_uu_penyiaran

kemerdekaan pers diberangus organisasi media soroti draf uu penyiaran

Indocafe

Jakarta, MISTAR.ID

Sejumlah organisasi media seperti Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI),  Dewan Pers, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengkritik draf Undang-Undang (UU) Penyiaran. Aturan terbaru ini justru memberangus kebebasan pers.

Ketua Umum IJTI Herik Kurniawan menilai penyusunan draf UUPenyiaran tidak  cermat yang berakibat fatal dan menjadi ancaman kemerdekaan pers.

Ia juga menyayangkan langkah pemerintah yang tidak melibatkan organisasi profesi jurnalis dalam menyusun aturan tersebut. Sehingga memunculkan perdebatan dan ada pasal yang justru membingungkan dan menciptakan banyak tafsir.

Dijelaskan pada Pasal 50 B ayat 2 huruf C pada draf revisi UU Penyiaran ada larangan  penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi. Seharusnya, tidak boleh ada larangan sepanjang dalam proses investigasi dan penyiaran dilakukan sesuai kode etik jurnalistik.

Baca juga: Wartawan Harus Taat UU Pers

Jika pemerintah, kata Herik, tetap membuat larangan maka tindakan itu merupakan pembungkaman terhadap kemerdekaan pers dan menutup pintu informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik.

IJTI juga menyoroti Pasal 50 B ayat 2 huruf K tentang isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik. Isi dalam pasal tersebut justru membingungkan sekaligus berpotensi membungkam kerja jurnalis.

“Pasal ini sangat multitafsir, terlebih yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI memandang pasal yang multitafsir dan membingungkan berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasikan jurnalis/pers,” ucapnya, Minggu (12/5/4).

Dalam sistem tata negara berdemokrasi, kata Herik, pers dianggap pilar keempat dari demokrasi. Kemudian, pers memiliki tanggung jawab sebagai kontrol sosial agar proses bernegara berjalan transparan, akuntabel dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik.

Selanjutnya Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat 2. Di sana  membahas soal penyelesaian sengketa karya jurnalistik penyiaran dilakukan oleh KPI. Pasal ini dinilai bersinggungan dengan UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengamanatkan penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di Dewan Pers.

Baca juga: IWO Nilai Revisi UU ITE Upaya Mengebiri Kebebasan Pers

“IJTI juga memandang bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional, mengingat KPI merupakan lembaga yang dibentuk melalui keputusan politik di DPR,” jelasnya.

Ditegaskan, berdasarkan UU Pers sangat jelas bahwa mandat penyelesaian sengketa karya jurnalistik diberikan kepada Dewan Pers. Keberadaan Dewan Pers mengatur kehidupan pers yang sehat, profesional dan berkualitas melalui self regulation.

Kewenangan Dewan Pers sejak dulu adalah untuk memastikan bahwa kerja-kerja jurnalistik yang profesional, berkualitas dan bertanggungjawab bisa berlangsung independent serta tidak ada intervensi dari pihak mana pun.

Kritik yang sama disampaikan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana. Menurutnya, RUU tersebut berbahaya bagi kebebasan pers dan tumpang tindih dengan UU Nomor 40 tentang Pers.

Baca juga: Kerja Jurnalistik dan Institusi Pers Tak Bisa Dijerat UU ITE

Yadi pun meminta agar DPR menjaring aspirasi dari kelompok masyarakat pers dalam penyusunan RUU.

Yadi menyoroti setidaknya dua poin dalam RUU pada Pasal 8A huruf q, yang menyatakan KPI boleh menyelesaikan sengketa jurnalistik di bidang penyiaran. Menurutnya pasal tersebut akan bertentangan dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999

“UU Pers memberi mandat bahwa sengketa pers, dalam Pasal 15 mengenai fungsi-fungsi Dewan Pers itu salah satunya itu adalah memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers. Selama ini juga penyelesaian kasus pers penyiaran di Dewan Pers,” kata dia.

Selanjutnya, Yadi menyoroti adanya aturan larangan penayangan jurnalistik investigasi dalam RUU itu. Dia mempertanyakan dasar dari aturan itu.

“Dalam draf rancangan RUU penyiaran ini Pasal 50B ayat 2 isinya melarang menayangkan eksklusif jurnalistik investigasi. Apa dasarnya pelarangan ini, pelarangan ini justru akan memberangus pers,” kata Yadi.

“Pers telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Ada panduan kode etik jurnalistik yang sudah disahkan oleh Dewan Pers dan masyarakat pers sebagaimana perintah dari UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Jadi tidak ada UU lain yang mengatur pers,” ujarnya.(detik/hm17)

journalist-avatar-bottomRedaktur Patiar Manurung