Psikolog: Pelaku Inses Alami Distorsi Kognitif, Anggap Tindakannya Sah

Hentinkan inses (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Psikolog Irna Minauli mengungkapkan bahwa sebagian besar pelaku inses menunjukkan tanda-tanda distorsi kognitif, yakni pola pikir yang menyimpang dari logika dan realitas.
Distorsi ini membuat para pelaku merasa bahwa tindakan mereka sah secara emosional maupun sosial, meskipun bertentangan dengan hukum dan moral.
“Bahkan, beberapa pelaku menyatakan bahwa daripada orang lain yang lebih dulu ‘mencicipi’, lebih baik dia sendiri yang memulainya,” kata Irna dalam pernyataan tertulis kepada Mistar, Senin (26/5/2025).
Irna juga menyoroti bahwa pelaku inses sering kali meremehkan dampak psikologis terhadap korban. Bahkan, dalam beberapa kasus, pelaku menjadikan inses sebagai bentuk hukuman terhadap anak.
“Misalnya, seorang ayah melakukan tindakan inses karena mengetahui anaknya mulai berpacaran,” ungkap Direktur Minauli Consulting itu.
Ia menambahkan bahwa lemahnya penegakan hukum turut mendorong tingginya angka kekerasan seksual dalam keluarga. Minimnya perlindungan dan lembaga bantuan untuk korban membuat banyak kasus tidak dilaporkan, sehingga pelaku merasa aman.
Lebih jauh, Irna menilai fenomena digital seperti komunitas ‘Fantasi Sedarah’ yang muncul di media sosial juga memperburuk situasi. Komunitas ini menurutnya berperan dalam menormalisasi perilaku menyimpang dan membentuk opini publik yang salah.
Korban inses, kata Irna, kerap mengalami trauma yang lebih dalam dibanding korban pemerkosaan oleh orang asing. “Karena pelakunya adalah orang terdekat yang seharusnya menjadi pelindung. Hal ini menghancurkan rasa aman dan kepercayaan korban terhadap relasi keluarga,” jelasnya.
Irna mendorong pemerintah untuk memperkuat hukum serta melibatkan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam edukasi dan perlindungan korban. Ia juga memperingatkan agar Indonesia tidak mengikuti langkah beberapa negara Eropa seperti Jerman, Italia, dan Portugal yang telah melegalkan perkawinan sedarah.
“Inses bukan hak kebebasan seksual, tapi pelanggaran terhadap nilai moral, hukum, dan kemanusiaan,” ujarnya. (susan/hm1)