23.5 C
New York
Sunday, June 23, 2024

Pengamat: Tiga Hal yang Membuat Tapera Kontroversi

Medan, MISTAR.ID

Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) merupakan kebijakan pemerintah yang belakangan memicu kontroversi, perdebatan dan polemik di masyarakat. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ‘Tabungan Penderitaan Rakyat’.

“Secara objektivitas, hal yang ingin digolkan pemerintah adalah mendorong masyarakat kelas menengah ke bawah untuk memiliki rumah sendiri,” ujar pemerhati kebijakan publik Boy Anugerah saat dihubungi mistar.id, Jumat (7/6/24).

Menurut Boy, Gen-Z sekarang banyak yang menjadi generasi sandwich (menanggung beban orang tua), sehingga apa yang menjadi kebutuhan dasarnya sendiri, termasuk rumah, sulit dicapai.

Pemerintah coba menjembatani ini dengan membantu masyarakat untuk memiliki rumah sendiri. Masyarakat diminta menyisihkan penghasilannya 2,5 persen untuk Tapera.

Baca juga: Penerapan Tapera 2027, Pemerintah Tunggu Aturan dari Kementerian

“Besaran totalnya sebenarnya 3 persen. Dua setengah persen ditanggung pekerja, baik pemerintah atau swasta, sisanya ditanggung perusahaan,” lanjutnya.

Kenapa Menjadi Kontroversi?

Menurut Boy, penyebab pertama adalah, karena Tapera bukan jaminan dan perlindungan sosial. Sedangkan tabungan sifatnya sukarela.

“Disebut sebagai tabungan tapi sifatnya tidak sukarela. Jadi secara konsep, tabungan ini terkesan memaksa,” jelasnya.

Kedua, kebijakan ini mendapat penolakan dari pekerja dan pengusaha. Sebab dari pekerja sudah banyak potongan tiap bulannya, seperti BPJS, BPJS Ketenagakerjaan, dan asuransi lainnya.

Kurang lebih angsuran di golongan pekerja itu jika ditotal bisa mencapai 10-12 persen dari penghasilan per bulan.

Baca juga: Tolak Tapera, Serikat Buruh akan Demo 11 Juni Mendatang

Dari sisi asosiasi pengusaha, total beban yang harus dibayarkan ke pemerintah digabung dengan Tapera ini bisa mencapai 18 persen.

Faktor selanjutnya adalah kenaikan gaji berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi, tiap tahun hanya di kisaran 3 persen. Tapi daya beli masyarakat tidak meningkat.

Sehingga, ketika ada kebijakan Tapera, kenaikan gaji 3 persen tiap tahun tersebut sudah pasti tergerus.

“Untuk memoderasi ini, pemerintah beragumentasi kebijakan ini tidak serta merta dilakukan tahun ini, tapi tahun 2027. Itu yang membuat polemik. Kalau memang masih lama, mengapa disounding dari sekarang? Apakah semacam tes ombak dulu?” lanjut Boy.

Menurut pria yang juga staf ahli MPR RI ini, sekarang pemerintah baiknya mengatensi masukan-masukan ini, baik protes dari pekerja mau pun asosiasi pengusaha.

“Karena PR pemerintah saat ini seharusnya adalah memajukan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan daya beli masyarakat terlebih dahulu,” tutupnya. (maulana/hm20)

Related Articles

Latest Articles