14.7 C
New York
Saturday, April 27, 2024

Imlek, Merajut Kerukunan Dalam Keberagaman

Medan | MISTAR.ID – Perayaan Tahun Baru dalam kalender China atau yang biasa disebut Imlek pernah mengalami masa suram di Indonesia. Pada zaman Orde Baru, tepatnya selama 1968-1999, perayaan hari raya etnis Tionghoa ini sempat dilarang diadakan di muka umum. Itu sesuai instruksi yang dikeluarkan oleh Soeharto saat masih berkuasa.

Barulah pada kepempimpinan Presiden Abdurahman Wahid atau Gusdur, inpres tersebut dicabut pada tahun 2000. Imlek saat itu ditetapkan sebagai hari libur fluktiatif, artinya hari libur hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya.

Perayaan Imlek, baru benar-benar terasa saat kepemimpinan Megawati. Saat itu, seluruh masyarakat Indonesia, merasakan ‘nikmatnya’ libur nasional karena perayaan Imlek pada 2003. Euforia terjadi di mana-mana.

Jalanan mulai dipenuhi dengan ornamen-ornamen khas Imlek. Lampion paling pop. Tradisi silaturahmi, seperti saat Lebaran dan Natal mulai terajut. Anak-anak bergembira. “Dulu, tiap kali Imlek, saya sering ke rumah teman China, berburu kue bakul dan angpao,” kenang Irfan Syahputra, salah seorang warga di Medan saat berbincang dengan Mistar Kamis (23/1/20) lalu.

Hingga kini, hubungan dengan temannya yang berketurunan Tionghoa itu masih terjalin baik. Tapi sudah jarang bertemu karena sibuk dengan urusan masing-masing, lebih lagi karena mereka sudah sama-sama berkeluarga. Meski jarang bertemu, mereka tetap menjaga komunikasi.

Hanya saja, kebersamaan macam itu, bagi sebagian orang mulai terkikis akhir-akhir ini. Perbedaan pilihan politik, yang kemudian menyeret masalah suku, etnis bahkan agama jadi kambing hitam. Semacam jadi rahasia umum di Indonesia, dalam beberapa tahun belakangan.

Momen Terbaik

Akademisi dan pegamat ekonomi dari Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, Gunawan Benjamin mengatakan, perayaan Imlek yang memiliki sejarah tersendiri di Indonesia itu, seharusnya bisa menjadi momen terbaik dalam merajut kembali kebersamaan.

“Dalam membangun Indonesia, kita tidak bisa berjalan sendiri. Tak ada diskriminasi di segala lini, baik ekonomi, sosial atau politik,” katanya.

Sentimen eksternal sudah sangat menyulitkan Indonesia dari sisi ekonomi. Kondisi ekonomi Indonesia sejauh ini masih sangat tertekan dengan perubahan kondisi ekonomi dunia yang tidak pasti.

Gejolak ekonomi eksternal masih saja membayangi perekonomian nasional, ditambah lagi dengan masalah geopolitik yang memicu kondisi ekonomi ke depan masih tidak pasti. Beberapa masalah ekonomi yang membelit kita belakangan ini adalah perang dagang, masih belum berkeseduhan meskipun sudah ada kesepakatan tahap pertama antara AS dengan China.

Setelah perang dagang, ada masalah geopolitik. Iran dan AS berseteru yang membuat ekonomi dunia makin tak karuan. Belahan Eropa bermasalah dengan Brexit, begitu juga dengan di Asia yang terus mengalami perlambatan ekonomi.

Mau tak mau, Indonesia harus memperkuat diri dari dalam. Kuncinya kerukunan dan kebersamaan. Jika masih saja terbelah dengan masalah selama ini, maka akan sulit ekonomi Indonesia bisa berakselerasi lebih cepat.

Keberagaman budaya dan adat istiadat, termasuk di dalamnya justru modal yang sangat besar untuk membangun Indonesia. Justru keberagaman ini yang tak diperoleh bangsa lain. “Ini potensi. Jika dikembangkan dengan baik, kemudian bersama kita membangun, Indonesia bisa kaya secara fundamental dan menjamin masa depan,” jelasnya.

Imlek tahun ini sebaiknya dijadikan momen untuk mempererat persatuan bangsa. Indonesia tengah dalam ancaman serius perubahan sosial politik dunia yang bisa saja menyeret Indonesia masuk dalam kubangan masalah yang besar.

“Untuk itu bagi masyarakat Indonesia, mari kedepankan persatuan, pererat hubungan, jangan mau di pecah. Karena hal tersebut hanya memunculkan penderitaan bagi kita semua,” ungkapnya.

Hal senada juga diungkapkan Sekretaris DPD Gerakan Kerukunan Bangsa (GKB) Sumut, H. Farhan. Dia mengatakan, Sumut merupakan provinsi besar yang terdiri dari berbagai suku, agama dan ras. Adat istiadatnya pun beragam.

Pada momen Imlek tahun ini, GKB mengajak seluruh masyarakat untuk bersatu membesarkan Sumut, tanpa mengolong-golongkan. “Sebagai catatan, kepengurusan GKB terdiri dari semua agama yang ada. Kini GKB kembali mengajak, bukan mengejek agar kita kembali merajut kebersamaan dan kerukunan. Baik antar umat beragama. Dan juga kerukunan berbangsa,” katanya.

Dia mengatakan, manusia tak bisa hidup sendiri, atau bahkan hanya dalam satu golongan. Tetapi semua bisa sukses, maju dan berhasil karena bersatu, saling merangkul, bukan memukul.

“Kita lahir dimuka bumi ini butuh pertolongan orang lain, memiliki ilmu, harta dan jabatan membutuhkan peran orang lain, bahkan kita mati juga membutuhkan orang lain,” ujarnya.
Dia menyebut, kebersamaan dan kerjasama itu harus ditingkatkan tanpa membedakan suku, agama, etnis dan golongan, karena semua merupakan ciptaan Tuhan yang sama.

“Kami mengajak, kita semua merajut kebersamaan dari semua etnis agama dan ras untuk bersatu padu dan bergotong royong secara bersama dengan pemerintah dalam mewujudkan Sumatera Utara yang bersih di momen Imlek ini,” pungkasnya.

Medsos Jadi Perekat

Sementara, dalam perkembangan tekonologi yang makin pesat seperti ini, anak bangsa bisa lebih cepat menyerap pengetahuan. Hanya saja, kedewasaan berpikir harus menjadi landasan. “Ini sangat penting bagi kami, kaum milenial dalam menyikapi perkembangan teknologi digital yang pesat saat ini, terutama perkembangan media sosial,” kata salah seorang pemuda, Alwin Wijaya.

Media sosial seharusnya bisa menjadi perekat yang paling ampuh bagi masyarakat Indonesia. Hanya saja, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang justru menggunakan media sosial sebagai media pemecah belah. Itu terjadi karena belum semuanya mampu berpikir secara dewasa.

Dia menyimpan harapan baru dalam perayaan Imlek tahun ini. Semua bisa lahir dengan jiwa baru. Jiwa yang menjunjung tinggi kebersamaan. Jiwa dengan harapan-harapan baru, bersatu membangun Indonesia. “Indonesia tidak akan kuat, jika kita anak muda tidak bersatu. Masih sibuk memaki di media sosial dan terbawa-bawa ke hubungan sehari-hari,” pungkasnya.

Reporter: Daniel Pekuwali
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles