Trump Bekukan Media yang Didanai Pemerintah AS, Termasuk VOA


Presiden AS, Donald Trump. (f: reuters/mistar)
Washington DC, MISTAR.ID
Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump memberikan cuti kepada jurnalis di Voice of America (VOA) dan lembaga penyiaran lain yang didanai oleh pemerintah AS.
Langkah ini mencakup pembekuan media yang telah beroperasi selama puluhan tahun dan dianggap penting dalam melawan serangan informasi dari Rusia dan China.
Dilansir AFP, Senin (17/3/2025), ratusan staf di VOA, Radio Free Asia, Radio Free Europe, dan media lainnya menerima email yang menginformasikan mereka akan dilarang masuk ke kantor, dan diminta untuk menyerahkan kartu pers serta perlengkapan yang disediakan oleh kantor.
Trump, yang sebelumnya telah mengkritik lembaga bantuan global AS dan Departemen Pendidikan, mengeluarkan perintah eksekutif pada hari Jumat yang menyatakan Badan Media Global AS sebagai bagian dari 'elemen birokrasi federal yang tidak diperlukan'.
Kari Lake, pendukung Trump yang ditunjuk untuk memimpin badan media tersebut, mengungkapkan dalam email kepada media bahwa dana hibah federal tidak lagi digunakan menjalankan prioritas badan tersebut.
Gedung Putih mengatakan pemotongan dilakukan agar pembayar pajak AS tidak lagi terikat pada 'propaganda radikal' yang telah menandai perubahan besar dalam tujuan jaringan media yang sebelumnya berfokus untuk memperluas pengaruh AS di luar negeri.
Baca Juga: Trump Umumkan Serangan Militer ke Yaman
Pejabat pers Gedung Putih Harrison Fields menulis 'selamat tinggal' di X dalam 20 bahasa, sebuah sindiran terhadap liputan multibahasa media tersebut.
Direktur VOA, Michael Abramowitz, mengungkapkan bahwa dirinya termasuk di antara 1.300 staf yang diberhentikan pada Sabtu (15/3/2025).
"VOA membutuhkan reformasi yang matang, dan kami telah membuat kemajuan dalam hal itu. Namun tindakan hari ini akan membuat Voice of America tidak dapat melaksanakan misi vitalnya," katanya di Facebook, mengingatkan bahwa liputannya dalam 48 bahasa telah menjangkau 360 juta orang setiap minggu.
Pimpinan Radio Free Europe/Radio Liberty (RFE/RL), yang memulai siaran ke blok Soviet selama Perang Dingin, menyebut pembatalan pendanaan sebagai 'hadiah besar bagi musuh-musuh Amerika'.
"Para ayatollah Iran, pemimpin komunis China, dan otokrat di Moskow dan Minsk akan merayakan kehancuran RFE/RL setelah 75 tahun," ujar pemimpin RFE, Stephen Capus, dalam sebuah pernyataan.
Media yang didanai AS telah mengubah orientasi mereka sejak berakhirnya Perang Dingin, dengan menghentikan sebagian besar program yang ditujukan untuk negara-negara Eropa Tengah dan Timur yang baru demokratis dan lebih berfokus pada Rusia dan China.
Media yang didanai China, sebaliknya, telah memperluas jangkauan mereka secara tajam selama dekade terakhir. Bahkan menawarkan layanan gratis kepada outlet di negara-negara berkembang yang seharusnya membayar kantor berita Barat.
Radio Free Asia, yang didirikan pada 1996, berfokus pada pelaporan tanpa sensor ke negara-negara dengan media yang tidak bebas, termasuk China, Myanmar, Korea Utara, dan Vietnam. Meski didanai pemerintah, outlet tersebut memiliki firewall editorial yang menjamin independensi.
Kebijakan ini telah menuai kritik dari beberapa orang di sekitar Trump, yang sejak lama mencela media dan menginginkan outlet yang didanai pemerintah untuk lebih mempromosikan kebijakan pemerintah AS. Langkah untuk mengakhiri media yang didanai AS kemungkinan akan menghadapi tantangan, mengingat Kongres memiliki kekuasaan konstitusional atas keuangan, dan Radio Free Asia khususnya telah mendapat dukungan bipartisan sebelumnya.
Kelompok advokasi Reporters Without Borders mengutuk keputusan ini, dengan mengatakan bahwa kebijakan tersebut mengancam kebebasan pers di seluruh dunia dan meniadakan 80 tahun sejarah Amerika dalam mendukung arus informasi yang bebas.
Gregory Meeks, politikus Demokrat senior di Komite Urusan Luar Negeri DPR, dan anggota Kongres Lois Frankel menyatakan bahwa langkah Trump akan menyebabkan kerusakan jangka panjang pada upaya AS untuk melawan propaganda di seluruh dunia.
Seorang karyawan VOA, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, menggambarkan pesan yang diterima pada hari Sabtu sebagai "contoh sempurna dari kekacauan dan ketidaksiapan proses", dengan staf VOA yang mengira program yang dijadwalkan dibatalkan, namun tidak diberi pemberitahuan secara langsung.
Seorang karyawan Radio Free Asia menambahkan, "Ini bukan hanya tentang kehilangan penghasilan. Kami memiliki staf dan kontraktor yang takut akan keselamatan mereka. Wartawan kami bekerja di bawah radar di negara-negara otoriter di Asia. Staf di AS juga takut dideportasi jika visa kerja mereka tidak berlaku lagi. Menghapus kami dengan goresan pena sangat mengerikan." (mtr/hm24)