13.5 C
New York
Tuesday, May 14, 2024

Di Ujung Sepi

“Ibu…” panggilku, ragu dan takut. Apakah aku mencarimu karena aku benar-benar merindukanmu atau karena aku terjebak oleh kepahitan hidup dan kesendirian dan sepi yang mencekam.

Satu tahun terakhir ini aku seperti mendapat kutukan. Suamiku meninggalkanku dan pergi bersama kekasihnya yang baru. Dua anakku yang kini sukses setelah tamat di luar negeri, mereka lebih disibukan pada karirnya masing-masing.

Dan yang lebih menankutkan, gambaran usiaku yang tidak lama lagi, setelah dokter memvonisku terkena kanker stadium 4. Mungkin paling hebat aku masih bertahan 1 tahun lagi dengan konsumsi obat-obatan.

Waktu itu seorang tabib mengingatkanku, apakah aku pernah menyakiti hati seseorang. Ibumu atau ayahmu?

Ayah meninggal ketika aku berusia 3 tahun. Dan yang pernah aku ingat, ibu membesarkan sampai aku duduk di bangku sekolah kelas 5 SD. Tapi karena malu tak mampu membeli pakaian sekolah dan kebutuhan lainnya, akhirnya aku berhenti. Kepahitan hidup semakin menjalar, ibu pun akhirnya menitipkanku di panti asuhan.

Di panti asuhan aku lanjut bersekolah. Di usiaku yang ke 20 tahun ibu datang menjemputku, aku masih ingat saat itu. Aku menolak, terlebih karena aku saat itu akan dilamar oleh seorang pria mapan. Aku tak mau kehadiran ibu justru memperburuk situasi.

“Ibu cari uang di Malaysia, Citra di sini saja yah nak. Di sini kau akan aman bisa bersekolah dan akan dirawat dengan baik. Di sini kau tak akan diejek karena baju yang sobek, karena tak punya uang jajan, atau karena menunggak SPP.”

Waktu itu aku menangis, anak kecil yang tak ingin jauh dari ibu, ibu yang selalu memberikan rasa ketenangan dalam situasi sekeras apa pun hidup di luar. Tapi kenapa ibu harus pergi. Tak bisakah ibu membawaku serta.

“Pulang dari Malaysia kita akan bersama kembali. Ibu menyayangimu…” Sampai di situ tangis ibu pecah, tapi mengapa ia tetap pergi.

Ucapan ibu saat itu masih terngiang, dan kalimat itu yang selalu ku ingat untuk kembali bersemangat bertemu ibu. Tapi bertahun tahun ibu tak pulang juga. Dulu sempat mengirimi uang untuk jajanku di panti. Tapi tiba-tiba ibu tak ada kabar. Ibu menghilang…

Perempuan tua itu telah pergi di antara jalannya yang gontai. Aku tak punya keberanian untuk berteriak memanggilnya, mungkin kebencian ibu padaku tak bisa ia lupakan saat aku tak mengakui keberadaannya. Dan aku benar-benar merasakan karmaku sendiri.

Bayang-bayang semu dalam kesendirian yang menggurita. Tanpa anak, tanpa suami dan tanpa ibu. Dan aku hanya ditemani oleh sakit yang berat, lebih sakit dari sekedar kanker yang mendera… kesepian. Kesepian inilah yang sudah dirasakan ibu selama ini. Ibu… maafkan aku. (ryz/hm06)

Related Articles

Kini Aku Tahu Akhir Ceritanya

Rusmadi Mencari Cinta

Latest Articles