14.8 C
New York
Thursday, April 18, 2024

Menelisik Sisi Lain Visi, Misi, Strategi dan Program Walikota Pematangsiantar (7)

Pentingnya Orkestrasi Birokrasi dan Mobilisasi SDM Aparatur

Oleh: Jalatua H. Hasugian

Saat memberi sambutan pada perayaan 151 tahun kota Pematangsiantar di DPRD, Senin (25/4/2022), dokter Susanti memberi sinyal capaian jangka pendek prioritas visi misi ‘Pasti’ yakni: mengembalikan Pematangsiantar sebagai kota toleran; Lihat Sampah Langsung Ambil (LISA); Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun (5-S), serta peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Sepintas tak ada yang salah dengan program tersebut, yang mengandalkan sloganisme melalui sebaran spanduk di kantor-kantor pemerintahan termasuk di sekolah-sekolah. Implementasinya butuh intervensi dan evaluasi serius agar membumi, setidaknya berawal dari aparatur. Sebab acap kali aparatur menganggap, slogan begituan sekadar penghias wajah kantor sekaligus ‘menghibur’ masyarakat yang berurusan di kantor-kantor pemerintah.

Sekadar contoh di RSUD Djasamen Saragih yang tiap pagi ramai dikunjungi pasien yang kebanyakan para lansia. Banyak pasien kesal dengan sikap petugas yang tampak lambat serta kurang responsif dengan keadaan. Apalagi tak tersedia pengeras suara seperti di bank yang akurat memberi informasi antrian serta visualisasi lewat layar monitor.

Ironisnya, mereka yang mengantri sejak pagi masih dibingungkan dengan nomor antrian saat pendaftaran yang berbeda dengan nomor antrian di poliklinik. Mereka masih menggerutu karena harus menunggu berjam-jam di bagian poli karena petugas dan dokter yang lama datang.

Fenomena ini contoh kecil namun berdampak terhadap layanan kesehatan masyarakat yang nota bene dilakukan aparatur pemerintah. Masih banyaknya aparatur sebagai patugas publik menghadapi warga dengan wajah ‘ketat’ tanpa mau tersenyum ramah.

Sebagai dokter, Susanti tampaknya menyadari fenomena ini sehingga memunculkan jargon 5-S, yang kita harap segera terimplementasi di seluruh instansi Pemko Pematangsiantar.
Menyangkut layanan publik lainnya, misalnya fungsi alat pemberi isyarat lalu-lintas (APILL) atau lampu lalu lintas serta lampu penerangan jalan.

Sebagai pembayar pajak, rakyat tak perlu tahu apakah bola lampu berserta perangkatnya harus indent (dipesan) dulu untuk menggantinya. Selaku pengguna kendaraan bermotor, rakyat hanya perlu tahu APILL harus setiap saat berfungsi baik karena menyangkut keselamatan banyak orang.

Tapi faktanya? Kebanyakan APILL di Pematangsiantar tak berfungsi baik sehingga mengundang sorotan publik yang merasa jengkel, hingga kritikan wakil rakyat di DPRD serta kalangan pers.

Demikian juga dengan lampu penerangan jalan. Padahal dari sembilan jenis pajak daerah, justru salah satu yang terbesar dari penerangan jalan yang dibayar masyarakat melalui rekening listrik. Data ringkasan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah (RLPPD) Pematangsiantar 2021, dari target Rp17 miliar terealisasi 18,15 miliar atau sebesar 106,77 %.

Namun imbas baliknya ke rakyat masih saja menjengkelkan. Jika ada warga melapor banyak lampu jalan mati, jawaban petugas enteng saja, dananya gak ada untuk itu? Dari sejumlah contoh kecil tersebut menjadi fakta, sebagus apa pun visi, misi, strategi dan program Walikota, selama mindset aparaturnya tak berubah, semua akan sia-sia dan tak pernah bisa memperbaiki keadaan.

Padahal kerja aparatur di era disrupsi digital sekarang sudah dipermudah oleh ketersediaan teknologi.
Kuncinya, sinergitas dan kolaborasi harus dibangun melalui orkestrasi birokrasi serta mobilisasi sumber daya aparatur dalam rangka menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Jangan sampai, karena mengedepankan ego sektoral, konsep good governance malah sebatas utopia. Padahal konsep good governance sangat berhubungan sinergis dan konstruktif antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat (society). Karena pemerintah tak mungkin bisa bekerja sendiri mengurusi kompleksnya persoalan masyarakat.

Meminjam pengertian World Bank tentang good governance, sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab, sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan dispilin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha (Adriansyah; 2002).

Konsep ideal dan luhur good governance tentu sulit direalisasikan, jika masih saja banyak pihak yang berupaya melakukan intervensi atas nama kepentingan tertentu.

Lingkaran Dilematis yang Sulit Dikikis?

Ada fenomena (negatif) yang selama ini kerap jadi dilema namun sulit ditepis apalagi dikikis. Pemerintah daerah yang berwenang mengelola anggaran kerap ‘dipaksa’ mengakomodir permintaan oknum-oknum yang menganggap alokasi anggaran bisa dikompromikan.

Termasuk para politisi dan pejabat pusat kerap minta bagian, jika daerah-daerah ingin berinovasi dengan mencoba melobi anggaran di tingkat pusat. Akibatnya banyak pejabat, politisi, bahkan kepala daerah terjerat hukum, karena berusaha meladeni banyaknya permintaan tersebut.
Meski tak menampik, jika banyak juga pejabat dan kepala daerah yang memanfaatkan pengelolaan anggaran negara untuk menimbun pundi-pundi pribadi?

Sudah jadi rahasia umum dalam praktek birokrasi, intervensi para politisi hingga aparat hukum maupun lembaga vertikal lainnya, menyebabkan tingginya biaya ‘entertainment’ pemerintah daerah. Belum lagi banyaknya proposal bantuan dana (entah untuk kegiatan apa saja) dari lembaga atau organisasi tertentu yang tak bisa diakomodir resmi pada APBD.

Lantas darimana biaya ekstra diperoleh untuk ‘menstabilkan’ kepentingan-kepentingan berbagai pihak tersebut? Sudah rahasia umum di berbagai daerah ada istilah “kewajiban” yakni setoran dari pihak rekanan maupun setoran-setoran dari pejabat yang instansinya punya proyek.

Menurut catatan (Muhammad: 2018) dalam bukunya: “Birokrasi, Kajian Konsep, Teori menuju Good Governance” kontraktor atau rekanan yang mendapatkan pekerjaan di kantor pemerintah harus menyetor minimal 10% (bahkan tidak jarang sampai 40 %) dari nilai proyek kepada oknum-oknum pejabat pemberi proyek agar pekerjaan mereka ‘lancar’.

Selain dari “kewajiban” proyek, juga bukan rahasia lagi jika untuk jadi pejabat eselon tak ada yang gratis!. Bisa dimaklumi sebab kontestasi Pilkada, kepala daerah harus mengeluarkan biaya besar sebagai cost politik untuk meraih kemenangan. Apa mungkin seorang kepala daerah mengikhlaskan begitu saja biaya besar yang telah dikeluarkan saat Pilkada?.

Konteks serupa juga terjadi pada anggota DPRD yang saat Pileg juga mengeluarkan biaya besar. Tentu sangat logis jika berkeinginan agar modalnya bisa kembali selama menjabat, bahkan modal pertarungan berikutnya. Jika hanya berharap dari gaji plus tunjangan tentu tak bakal balik modal. Maka harus pintar-pintar mencari tambahan dengan melobi proyek-proyek pemerintah.

Jika sudah begini, ujung-ujungnya “sesama bis kota tak mungkin saling mendahului”. DPRD yang punya kewenangan politik anggaran, tentu akan memanfaatkan celah pembahasan anggaran bersama eksekutif agar bisa ‘menitipkan’ proyek tertentu.

Fenomena ini pasti akan tercium aparat hukum, lembaga-lembaga pemerhati kebijakan publik, bahkan kalangan oknum-oknum jurnalis dan mereka tak bakal tidak tinggal diam menyikapinya. Agar keadaan kondusif, tentu harus ada lagi ‘kolaborasi’ baru yang diciptakan dengan janji-janji tertentu pula. Kolaborasi taktis pragmatis inilah yang juga menimbulkan tidak stabilnya tata kelola pemerintahan, malah kerap berujung dengan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum.

Lantas apa yang kerap dilakukan aparatur terutama yang punya jabatan? Dengan terpaksa, akibat tingginya pengeluaran ekstra untuk hal-hal yang sebenarnya tak produktif dan sama sekali tak berkaitan dengan layanan publik, harus pintar ‘memainkan’ laporan-laporan kegiatan. Setidaknya mengakal-akali biaya perjalanan dinas (SPPD) atau biaya alat tulis kantor (ATK).

Tak ada logikanya seorang pejabat merelakan gaji atau tambahan penghasilannya (TPP) nya untuk menalangi biaya ekstra tersebut. Lingkaran dilematis ini akhirnya menimbulkan mark up yang menjadi sandera bagi aparatur sendiri karena banyak pihak ‘mengetahuinya’. Akhirnya bagi-bagi atas nama kolaborasi taktis, dan kenyamanan semua pihak agar kondisi stabil tak bisa dielakkan. Oleh karena itulah, sepanjang ASN masih dibebani biaya taktis yang besar untuk mendapatkan jabatan tak ada gunannya visi, misi dan program.

Demikian juga selama dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) masih bisa dikompromikan, pendidikan tak akan pernah bagus sesuai hakikatnya. Terbukti, kepala sekolah saling berebut lokasi yang siswanya banyak. Mengapa? Karena mereka berasumsi dengan angka pengali banyaknya siswa, bukan hendak berinovasi membangun program pendidikan apalagi peningkatan kualitas?

Membahas berbagai kebobrokan birokrasi memang tak akan pernah selesai dari masa ke masa. Setiap saat selalu saja ada keluhan publik terhadap perilaku birokrasi yang aneh-aneh. Mengapa hal seperti itu terjadi dan sampai kapan hal itu akan terus terjadi? Mungkinkah suatu saat kebobrokan birokrasi ini akan bisa berubah?

Tentu kita berharap, di tangan seorang perempuan yang pertama menjadi Walikota Pematangsiantar, dokter Susanti Dewayani, bisa ada terobosan strategis yang berdampak terhadap perubahan mindset aparatur. Kalau pun tak mungkin bisa berjalan cepat dan menyeluruh, setidaknya bisa berjalan parsial secara perlahan namun ‘Pasti’.

Karena birokrasi sejatinya tidaklah seperti yang ada dalam uraian di atas. Malah seharusnya dengan birokrasi yang ideal, akan membuat masyarakat puas dan capaian kinerja aparatur di organisasi pemerintahan.

Rakyat kota Pematangsiantar juga akan memaklumi jika tak mugkin semua program ‘Pasti’ bisa direalisasikan di tengah situasi keterpurukan ekonomi pascapandemi Covid-19. Namun setidaknya, ada sejumlah program prioritas yang mengena terhadap layanan publik sehingga masyarakat juga semakin menyadari tanggungjawabnya sebagai warga negara yang baik.
Semoga dokter Susanti Dewayani, yang sudah diberi amanah memimpin kota Pematangsiantar dan akan menjadi Walikota bisa cepat mencermati keadaan, agar tak salah menerapkan kebijakan dan memilih personil!

Sekali lagi, Orkestrasi dan Kolaborasi Birokrasi serta Mobilisasi SDM Aparatur yang efektif, menjadi kunci keberhasilan pengelolaan pemerintahan.. (*/selesai)

Penulis adalah Dosen Universitas Simalungun (USI)

Related Articles

Latest Articles