Jakarta | Mistar – Pada Maret 2019, FIFA menjatuhkan hukuman kepada Chelsea berupa larangan mendaftarkan pemain baru untuk dua jendela transfer atau mudahnya mereka dilarang melakukan transaksi pada bursa transfer musim panas 2019 dan musim dingin 2020.
Hukuman itu dijatuhkan setelah Komisi Disiplin FIFA memutuskan klub London itu telah melanggar aturan terkait transfer internasional 29 pemain di bawah usia 18 tahun, yang disertai denda senilai 600 ribu franc Swiss (sekira Rp8,5 miliar).
Putusan itu segera direspon dengan permintaan penangguhan hukuman dari Chelsea, namun juga ditolak oleh Komite Banding pada 8 Maret 2019.
Pada 8 Mei 2019, FIFA menguatkan keputusan mereka atas hukuman terhadap Chelsea membuat The Blues mau tidak mau harus menempuh gugatan lewat Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS).
Belakangan, nasib Chelsea kian terpojok ketika Maurizio Sarri memutuskan untuk mundur hanya setelah semusim menduduki jabatan manajer klub itu, hanya beberapa pekan setelah menjuarai Liga Europa.
Persoalan larangan transfer tentu turut mempengaruhi keputusan Sarri, selain ia juga mendapat pinangan dari Juventus yang praktis berarti “jaminan” menjadi juara Liga Italia mengingat Si Nyonya Tua menjadi patron utama dengan jadi yang terbaik di Serie A delapan musim beruntun.
Maka pada 16 Juni 2019, tak sampai setahun penuh setelah ditunjuk menjadi manajer Chelsea, Sarri pergi dari London dan pulang ke Italia untuk menangani Juventus.
Sedangkan Chelsea, ditinggalkan dengan persoalan mencari pelatih yang rela menangani tim yang tak bakal punya keleluasaan untuk mencari pemain baru setidaknya di musim panas 2019 atau hingga musim dingin 2020.
Masalah kian pelik, sebab Chelsea juga harus kehilangan tulang punggung utama mereka selama beberapa musim terakhir Eden Hazard yang mewujudkan mimpinya hijrah ke Santiago Bernabeu demi berseragam Real Madrid.
Maka, pelatih yang mau datang mungkin hanya sosok yang memang punya ikatan spesial dengan Chelsea tak akan mau mengampu tugas yang kala itu dianggap tanpa keuntungan dan dukungan apapun. Ia adalah Frank Lampard.
Menyulap Musibah
Lampard resmi menjabat sebagai manajer anyar Chelsea pada 4 Juli 2019 dengan durasi kontrak tiga tahun mewarisi berbagai masalah yang tengah membelit klub pengoleksi enam gelar juara Liga Inggris itu.
Ia menghabiskan 13 tahun kariernya sebagai pesepak bola profesional di Chelsea dan turut mempersembahkan tak kurang dari 11 trofi bergengsi di Stamford Bridge, termasuk tiga gelar juara Liga Premier dan satu trofi Liga Champions.
Lampard juga tercatat tiga kali terpilih sebagai Pemain Terbaik Chelsea pada 2004, 2005 dan 2009. Mudahnya, Lampard punya ikatan erat dengan Chelsea, sehingga kesempatan untuk menukangi bekas klubnya sendiri muncul tentu ia tak perlu berpikir panjang meninggalkan pekerjaannya di Derby County.
Selain Christian Pulisic yang sudah dibeli dari Borussia Dortmund sejak musim dingin 2019 dan Mateo Kovacic yang diaktifkan klausul pembelian permanennya dari Real Madrid, Lampard praktis tak punya kemewahan membeli pemain laiknya manajer-manajer Chelsea lainnya di era kepemilikan taipan Rusia Roman Abramovic.
Namun, Lampard punya modal besar berupa kehadiran dua pemain muda yakni bek Fikayo Tomori dan sayap Mason Mount. Keduanya boleh dibilang jadi pemain Chelsea yang paling paham filosofi kepelatihan Lampard –yang diakuinya banyak terpengaruh oleh sosok Jose Mourinho– sebab menghabiskan musim 2018-19 sebagai pemain pinjaman di Derby.
Dua nama itu jelas mendapat kepercayaan lebih selain juga Tammy Abraham, yang musim 2018-19 dipinjamkan ke Aston Villa dan mengemas 26 gol dalam 40 penampilan untuk membantu klub itu mengamankan satu tiket promosi ke Liga Premier.
Maka dimulailah tenor kepelatihan Lampard di Chelsea yang tak ubahnya menjadi gelombang regenerasi dengan memanfaatkan para pemain jebolan akademi sebagai pondasinya.
Laga kompetitif perdana Lampard bersama Chelsea di Liga Premier berakhir dengan kekalahan telak 0-4 dalam lawatan ke Manchester United pada 11 Agustus 2019 lantas disusul kekalahan dari Liverpool di Piala Super Eropa empat hari berselang di Istanbul, Turki, lewat adu penalti.
Namun seiring musim berjalan, Chelsea berada di jalur yang lebih baik dibandingkan MU meski tentu belum sebaik Liverpool.
Chelsea kini berada di urutan kelima klasemen Liga Premier dengan raihan 14 poin berkat empat kemenangan dan dua hasil imbang dari delapan pekan pertama, serta masih bersaing di Grup H Liga Champions lewat catatan satu kemenangan dan kekalahan.
Raihan itu tidak lepas dari kontribusi banyak pemain muda Chelsea terutama jebolan akademi mereka.
Abraham misalnya, saat ini berada di puncak daftar top skor Liga Premier dengan raihan delapan gol setara dengan penyerang Manchester City Sergio Aguero. Ia juga mencetak satu gol untuk Chelsea di Liga Champions.
Mantan pelatih Tottenham Hotspur, Tim Sherwood, dalam sebuah acara di stasiun televisi Sky Sports memuji keberhasilan Abraham menembus tim utama dan membuktikan kemampuannya sebagai salah satu pionir gerakan pembaharuan Chelsea.
Sementara itu, Mount juga telah menyumbangkan empat gol untuk Chelsea di Liga Premier dan Tomori perlahan mulai mengukuhkan posisinya di tempat utama lini pertahanan pilihan Lampard.
Belakangan, penampilan menawan Abraham dan Tomori telah membuat manajer tim nasional Inggris Gareth Southgate memanggil keduanya untuk memperkuat The Three Lions dalam kualifikasi Piala Eropa 2020.
Bersamaan dengan tiga pemain tersebut, Callum Hudson-Odoi juga menegaskan komitmennya di Chelsea lewat kesepakatan kontrak anyar berdurasi lima tahun. Kesempatan juga berdatangan untuk pemain-pemain muda lain seperti Reece James, Marc Guehi, Billy Gilmour, Ian Maatsen dan Faustino Anjorin.
Para pemain muda itu bahu membahu bersama nama-nama yang lebih senior seperti N’Golo Kante, Jorginho dan kapten Cesar Azpilicueta dalam gelombang pembaharuan Chelsea.
Kesempatan untuk tampil di tim utama boleh jadi tidak akan terbuka jika Chelsea tak dikenai sanksi larangan transfer. Bukan tidak mungkin mereka bakal kehilangan talenta-talenta muda yang bersinar di klub lain sebagaimana terjadi dengan Kevin De Bruyne, Declan Rice dan Nathan Ake.
Namun demikian, kemampuan untuk mengorbitkan para pemain muda agar siap tampil di level tertinggi butuh sentuhan manajer yang paham dengan persoalan mengenai hadangan mental. Dan pekerjaan itu sejauh ini cukup sukses dilakukan oleh Lampard.
Harus diakui, Lampard sejauh ini mampu mengubah sanksi larangan transfer yang dianggap sebagai musibah menjadi berkah untuk kehadiran gelombang regenerasi di Chelsea.
Konsistensi Jadi Kunci
Tentu saja, terlalu cepat untuk mengadili hasil pekerjaan Lampard di Chelsea mengingat musim 2019/20 baru berlangsung kurang dari tiga bulan lamanya.
Mengadili Lampard berlebihan di bulan Oktober tentu sama saja mengatakan Liverpool akan menjadi juara Liga Premier hanya karena mereka memiliki catatan sapu bersih delapan pertandingan pertama.
Masalah Lampard di Chelsea dan Juergen Klopp di Liverpool pada dasarnya tetap sama, yakni konsistensi.
Konsistensi penampilan Abraham, Mount, Tomori, Hudson-Odoi sembari menanti proses adaptasi Pulisic berjalan mulus akan menjadi kunci untuk mengadili tenor kepelatihan Lampard di Chelsea musim ini.
Lampard juga harus bisa memberikan opsi skema alternatif dan memastikan para pemainnya bisa beradaptasi cepat jika dalam perjalanan beberapa laga ke depan strateginya bersama Chelsea bisa dibaca dan ditangkal oleh para pesaingnya.
Sementara itu, Chelsea juga masih menantikan kapan gugatan mereka mulai memasuki fase persidangan di CAS, yang mungkin akan membuka kembali kesempatan beraksi di bursa transfer musim dingin Januari 2020.
Sebelum putusan dari CAS yang bisa turut mempengaruhi perkembangan Chelsea, Lampard sebaiknya berkonsentrasi dengan apa yang sudah dilakukannya sejauh ini di London.
Bulan Oktober menyisakan dua pertandingan Liga Premier bagi Chelsea yang baru saja memetik kemenangan kandang perdananya jelang jeda internasional. Mereka akan menjamu Newcastle United di Stamford Bridge pada 19 Oktober sebelum bertandang ke markas Burnley sepekan berselang.
Di antara kedua laga tersebut, Chelsea juga akan bertolak ke Belanda untuk menghadapi Ajax di Liga Champions pada 23 Oktober.
Ujian sebenarnya bagi Lampard dan Chelsea akan datang lagi berupa Manchester United pada akhir Oktober saat mereka bertemu di putaran keempat Piala Liga Inggris.
Laga itu bisa menjadi tolok ukur sejauh mana Lampard sukses mengembangkan Chelsea yang kalah telak 0-4 pada pekan pembuka Liga Premier menghadapi lawan yang sama.
Sumber:Antara
Editor: Luhut Simanjuntak