Usai dari DCT, kata Wilfrid, potensi kecurangan akan berlanjut di saat masa kampanye tiba. Di saat itu, Bawaslu akan melakukan monitor secara penuh semua caleg dalam melakukan kampanye.
“Pasti ada saja kesalahan caleg nanti dalam kampanye, baik itu dari baliho yang berdiri tidak pada tempatnya ataupun money politic. Kesalahan itu nantinya jadi kesempatan untuk meraup keuntungan,” katanya.
Setelah kampanye, sambung Wilfrid, perhitungan suara menjadi ajang paling ‘mahal’ dalam Pemilu. Sebab, banyaknya suara caleg namun tidak mendapatkan kursi akan menjadi ‘lahan’ untuk membeli suara.
“Di setiap daerah pemilihan (Dapil) pasti ada caleg yang suaranya kurang untuk mendapatkan kursi. Kesempatan itu akan dimanfaatkan caleg berduit untuk membeli suara. Tentu semua itu tidak terlepas dari peran Bawaslu dan KPU dan harganya juga sangat mahal,” sebutnya.
Baca Juga : Oknum Anggota Bawaslu Medan Diduga Terjerat OTT
Wilfrid mengungkapkan, semua yang diceritakannya merupakan pengalamannya saat mengikuti Pemilu 2019 lalu dari Dapil Sumut II. “Kebetulan saya memang lengkap dan memenuhi syarat. Jujur saja, saya tidak memiliki uang untuk bermain. Oleh karenanya sangat miris hal-hal seperti itu terjadi. Secara tidak langsung, caleg-caleg baru pasti tidak memiliki peluang untuk menang,” ungkapnya.
Mengantisipasi semua itu tak terjadi, Wilfrid berharap para penyeleksi anggota KPU dan Bawaslu memang benar-benar kompeten. “Keinginan kita Pemilu Damai dan Sejuk itu sangat sulit terwujud jika lembaga penyelenggaraannya tidak netral. Makanya, semua orang yang terpilih di Bawaslu dan KPU harus kredibel dan profesional. Artinya, memang benar-benar mengawasi pemilu, bukan mengawal partai ataupun caleg tertentu,” bebernya.
Irwansyah, salah satu caleg 2024 yang diwawancarai Mistar mengatakan, hal ini sudah sangat sering terjadi di semua lembaga yang memiliki kewenangan, tidak hanya Bawaslu.
“Ini seolah menjadi hal yang biasa terjadi di Indonesia. Oleh karenanya, harus ada norma kepatuhan terhadap semua pihak, baik itu caleg sebagai kontestan dan Bawaslu sebagai wasit. Karena ini persoalan timbal balik. Satu sisi caleg tidak mematuhi peraturan ataupun Bawaslu ada ruang untuk menikmati keuntungan,” ucapnya.
Baca Juga : Oknum Anggota Bawaslu Medan Terjerat OTT, Begini Kata Kabid Humas
Irwansyah mengakui, sering terjadi Bawaslu memang sengaja mencari-cari kesalahan kontestan Pemilu untuk mengambil keuntungan. “Budaya Indonesia ramah tamah. Harusnya Bawaslu melakukan edukasi dan sosialisasi. Jika ada yang salah, beri teguran ataupun beritahu. Jadi tidak serta merata menjudge,” ujarnya.
Terkait kasus OTT ini, politisi NasDem ini pun beranggapan bahwa AH sengaja mengincar posisi Komisioner Bawaslu dengan maksud tertentu, bukan sebagai wasit dalam Pemilu.
“Kita miris melihatnya, sebab baru dilantik. Secara rasional, AH mengejar posisi Bawaslu untuk menikmati keuntungan atas penyimpangan yang terjadi. Ini yang tidak sehat. Mari semua berbenah. Moralitas penting sebagai ukuran kita bekerja dimanapun,” tegasnya.
Untuk menciptakan Pemilu yang berkualitas, Irwansyah berharap para penyeleksi anggota Bawaslu bisa lebih jeli dan teliti. Sehingga nantinya anggota Bawaslu yang ada memang benar-benar kredibel dan profesional, bukan orang ‘titipan’.
“Ini persoalan Komplek juga, artinya kita tidak ikhlas, karena tentu akan tidak netral dan kredibel. Narasi ini selalu disampaikan, seakan-akan semua kontestan akan merasa dicurangi dan muncul rasa paranoid. Orang-orang titipan harus dihilangkan, karena akan mempermalukan Pemilu kita,” ungkapnya.