Tuesday, February 25, 2025
home_banner_first
NASIONAL

Dirut Pertamina Jadi Tersangka Korupsi, Kejagung: Beli Pertalite Tapi Dioplos Jadi Pertamax

journalist-avatar-top
By
Selasa, 25 Februari 2025 11.42
dirut_pertamina_jadi_tersangka_korupsi_kejagung_beli_pertalite_tapi_dioplos_jadi_pertamax_

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. (f: tempo/mistar)

news_banner

Jakarta, MISTAR.ID

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS), sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023.

Berdasarkan keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite dan melakukan "blending" untuk menghasilkan Pertamax. Namun, dalam proses pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.

"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92," demikian pernyataan resmi Kejagung, Selasa (25/2/2025), dilansir dari Kompas.com.

Dalam kasus ini, Kejagung juga menetapkan enam tersangka lainnya, yaitu:

  1. Yoki Firnandi (YF) – Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
  2. SDS – Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional
  3. AP – VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional
  4. MKAR – Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa
  5. DW – Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
  6. GRJ – Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak

Modus dan Peran Para Tersangka

Kejagung mengungkapkan bahwa Riva Siahaan bersama SDS dan AP memenangkan DMUT atau broker minyak mentah dan produk kilang dengan cara yang diduga melawan hukum.

Sementara itu, tersangka DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP untuk memperoleh harga tinggi (spot), meskipun persyaratan belum terpenuhi. Persetujuan impor produk kilang ini kemudian didapat dari SDS.

Selain itu, dalam pengadaan minyak mentah dan produk kilang impor, ditemukan adanya mark-up kontrak shipping yang dilakukan oleh Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.

Negara pun harus mengeluarkan fee sebesar 13 hingga 15 persen secara tidak sah, yang memberikan keuntungan bagi tersangka MKAR.

"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) BBM menjadi mahal. Akibatnya, harga BBM yang dijual kepada masyarakat meningkat, sehingga menjadi dasar pemberian kompensasi dan subsidi BBM setiap tahun dari APBN," ujar Kejagung dalam keterangannya.

Akibat perbuatan melawan hukum tersebut, negara diperkirakan mengalami kerugian hingga Rp 193,7 triliun. (kompas/hm20)

RELATED ARTICLES