18.9 C
New York
Wednesday, May 8, 2024

11 Bahasa Daerah Punah

Jakarta, MISTAR.ID

Sedikitnya 11 bahasa daerah di Indonesia punah. Bahasa yang punah tersebut berasal dari Papua, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara. Angka ini bertahan sejak 2017 lalu. Selain itu, terdapat enam bahasa yang dikategorikan kritis, yakni penuturnya berusia di atas 40 tahun dan jumlahnya sangat sedikit.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyatakan, bahasa daerah di Indonesia bagian timur lebih rentan punah ketimbang di wilayah lain. Hal ini berkaca pada kajian yang dilakukan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud terhadap 90 bahasa daerah di Indonesia.

Kendati Indonesia bagian timur kental akan budaya, namun ragam budaya yang ada justru jadi salah satu alasan bahasa daerah di sana rentan punah. “Tiap kampung bahkan tiap desa memang beda-beda bahasanya. Rentan sekali punah karena penuturnya sedikit. Lama-lama yang sedikit kalau tidak terlestarikan, orangnya meninggal, lalu tidak terwariskan. Itu yang buat rentan,” tutur Pelaksana tugas Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Hurip Danu Ismadi, di Kemendikbud, Senayan, Jumat (21/2/20).

Danu mengatakan hal ini berbeda dengan Indonesia bagian barat. Bahasa daerah seperti Bahasa Jawa dan Sunda banyak penuturnya dan masih dituturkan. Kemendikbud mencatat, per tahun ini terdapat 718 bahasa daerah di Indonesia.

Sebanyak 90 bahasa daerah di antaranya yang telah dilakukan kajian, ditemukan 26 bahasa daerah yang berstatus aman. Artinya, bahasa masih dipakai orang dewasa dan anak dalam etnik tertentu. Kategori ini termasuk Bahasa Jawa, Sunda, Minangkabau, Biak, Bugis, Madura, Bali dan masih banyak lagi.

Kemudian ada 19 bahasa lain yang masuk status rentan, artinya penutur bahasa tersebut jumlahnya tidak banyak. Ini termasuk bahasa-bahasa dari Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara Timur.

Selanjutnya ada tiga bahasa yang kini mengalami kemunduran. Artinya sebagian etniknya masih menggunakan bahasa tersebut, sedangkan sisanya tidak. Ketiganya berasal dari Maluku dan Papua.
Kemudian ada 25 bahasa daerah yang terancam punah. Artinya, penutur berusia di atas 20 tahun dan jumlahnya sedikit. Ini termasuk bahasa dari Maluku, Papua, Sulawesi, Sumatera, Nusa Tenggara Timur. Kebanyakan berasal dari Papua.

Pelaksana tugas Kepala Badan Bahasa Dadang Sunendar mengatakan jumlah bahasa yang sudah dikaji masih sebagian kecil dari bahasa daerah di Indonesia yang diidentifikasi pihaknya. Hal ini, kata Dadang, salah satunya karena terkendala jarak, sumber daya manusia dan biaya. Sebanyak 90 bahasa yang dikaji merupakan bahasa yang diprioritaskan karena banyak hal. Salah satunya karena jarak dan perhitungan bahasa yang dikira rentan punah.

Terkait upaya yang dilakukan agar menghindari angka bahasa daerah yang punah bertambah, Dadang mengatakan pihaknya sudah berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah setempat. “Kalau lihat Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009, di Pasal 41 disebutkan Pemerintah Pusat wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia. Pada Pasal 42 dikatakan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan, membina dan melindungi bahasa dan sastra daerah. Jadi utamanya di Pemerintah Daerah,” ujarnya.

Namun begitu, Danu mengatakan pihaknya juga ikut turun tangan menanggulangi hal ini. Upaya yang dilakukan misalnya dengan mengidentifikasi bahasa daerah yang belum ditemukan. Kemudian melakukan kajian terhadap bahasa agar didapati bahasa yang terancam punah.

Jika keduanya sudah dilakukan, lalu Badan Bahasa lanjut melakukan konservasi dan rehabilitasi. Konservasi dilakukan dengan mendokumentasikan bahasa daerah dalam bentuk kamus atau buku bacaan. Sedangkan revitalisasi dilakukan di satuan pendidikan dan komunitas masyarakat.

“Pendidikan di sekolah melalui muatan lokal. Lalu komunitas masyarakat berkaitan seni dan budaya,” tambahnya.

Dadang menjelaskan pada sekolah dasar di daerah-daerah umumnya proses pembelajaran masih diperbolehkan menggunakan bahasa daerah hingga kelas tiga. Setelah itu sekolah wajib menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar.

Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNUI) Arief Rahman mengatakan inilah yang membuat bahasa daerah jarang dikuasai generasi muda. Salah satu penyebabnya karena kebanyakan tidak lagi menuturkan bahasa daerah di sekolah, rumah maupun di lingkungan pertemanannya.

Kita Bisa Apa?

Berdasarkan data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (BPBP) pada Oktober 2019, Indonesia memiliki bahasa daerah sebanyak 718 bahasa daerah. Dari jumlah itu, sekitar 68 bahasa daerah sudah dipetakan vitalitasnya. Disebutkan, tercatat 11 bahasa daerah yang mengalami kepunahan karena sudah tidak ada penutur bahasa tersebut.

Mengenai upaya-upaya untuk menjaga dan melestarikan bahasa ibu, Kepala Pusat Pengembangan dan Pelindungan Bahasa Dr Hurip Danu Ismadi mengatakan perlu adanya usaha-usaha yang serius. Seperti memasukkannya dalam ranah pendidikan, pembuatan kamus, dan melakukan penelitian tentang kondisi khusus bahasa tersebut. Hal itu dia sampaikan dalam taklimat media, Jumat (21/2/20) di Kemendikbud, Senayan.

“Kami merangkul para peneliti, pengkaji bahasa, perguruan tinggi, dan lembaga-lembaga bahasa di daerah dalam pemetaan ini,” jelas Hurip Danu Ismadi.

Pemetaan dan kajian bahasa daerah menjadi salah satu upaya pelestarian bahasa daerah ini. Tujuannya adalah untuk memperhatikan dan memantau berdasarkan dari laporan-laporan yang diperoleh dari lembaga bahasa.

Konservasi dan revitalisasi bahasa termasuk upaya dalam mengembangkan dan mempertahankan bahasa daerah agar selalu digunakan oleh penuturnya. Upaya ini dilaksanakan melalui pendokumentasian bahasa tersebut seperti pembuatan kamus.

Revitalisasi bahasa daerah dilakukan apabila sudah mengetahui tingkat vitalitas bahasa tersebut. Hal ini dilakukan jika hasil uji vitalitasnya lemah. Revitalisasi juga dijalankan melalui komunitas dari daerah setempat.

“Revitalisasi ini dilakukan melalui dua pendekatan, yang pertama di bidang pendidikan yaitu muatan lokal dan yang kedua melalui komunitas di daerah setempat,” ucap Hurip Danu Ismadi.

Dalam kesempatan yang sama, Prof. Dr Dadang Sunendar, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, mengatakan perayaan bahasa daerah di Tanah Air ini sungguh sangat luar biasa. Semangat dari Hari Bahasa Ibu Internasional, persoalan bahasa daerah juga harus dihormati dan perlu diseriusi dalam upaya pelestariannya.

Apalagi, Dadang menambahkan, bahasa daerah yang dimiliki Indonesia menduduki posisi kedua terbanyak setelah Papua Nugini. Namun, dengan keragaman bahasa yang dimiliki, lebih dari 700 bahasa daerah, bahasa Indonesia tetap menjadi bahasa pemersatu bangsa.

“Kita harus mengutamakan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara, kita harus melestarikan bahasa daerah, dan kita harus menguasai bahasa asing,” Dadang menegaskan.

Sumber: cnn/lp6
Editor: Luhut Simanjuntak

Related Articles

Latest Articles