10.5 C
New York
Saturday, May 4, 2024

Pemilu Proporsional Tertutup Bentuk Kemunduran Demokrasi

Medan, MISTAR.ID

Pengamat politik Shohibul Anshor Siregar menilai jauh di luar kesadaran para elit di Indonesia, sebetulnya rakyat sudah lama tahu bahwa pemilu yang menjadi salah satu indikator demokrasi itu, identik dengan keterbukaan dan kebebasan.

Rakyat ingin menikmati itu selamanya dan tumbuh sebagai budaya demokrasi yang kuat. Hal itu disampaikan Shohibul menanggapi wacana Pemilu Proporsional atau Pemilu Legislatif mencoblos partai di Pemilu 2024 yang diusulkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Selasa (10/1/23).

Menurutnya, rakyat juga sudah lama tahu bahwa merubah sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup adalah pemangkasan brutal atas kadar keterbukaan dan kebebasan yang menginformasikan secara gamblang kemunduran demokrasi. “Rakyat frustrasi,” tegasnya.

Baca juga: Ketua KPU: Kemungkinan Pemilu 2024 Kembali Proporsional Tertutup

Memang, kata Shohibul, sesuai dengan situasi politik belakangan ini yang cenderung semakin ketat atau bahkan represif, rakyat juga paham bahwa memprotes pengkhianatan atas demokrasi seperti ini dapat berisiko. “Karena itu mereka (rakyat) memilih diam,” katanya.

Namun, rakyat akan mengekspresikan sikap itu dalam bentuk penurunan partisipasi dalam Pemilu, sebagaimana sudah terjadi selama ini baik secara nasional maupun lokal. Menurut Shohibul, penyelenggara Pemilu Indonesia (KPU dan Bawaslu) selalu terobsesi peningkatan partisipasi Pemilu, dan mereka kewalahan tak dapat berbuat apa-apa karena rakyat menjauhi demokrasi.

“Itulah sebabnya model partisipasi politik di Indonesia makin lama makin lebih identik dengan mobilisasi ketimbang kesadaran tindakan,” ucapnya.

Kata Shohibul, elit politik Indonesia sesungguhnya tidak begitu hirau urusan apa pun di negeri ini selain pengabadian kekuasaan. Hal itu juga membuat berkembangnya tradisi kuat transaksi politik dalam pemilu menjadi mainstream budaya politik Pemilu.

Isu tentang kualitas perwakilan politik Indonesia memang tidak terlepas dari kadar rendah integritas pemilu. Defisit demokrasi yang diakibatkannya bersumber dari tata kelola yang menekankan formalisme dan rutinisme belaka.

Baca juga: Ketua KPU: Kemungkinan Pemilu 2024 Kembali Proporsional Tertutup

“Akhirnya menjadi sah dan menjadi kelaziman yang kuat bahwa hasil Pemilu seolah bukan hasil elektorasi, melainkan hasil manipulatif Pemilu,” ucapnya.

Shohibul pun mengusulkan beberapa poin demokrasi terbaik di Indonesia. Pertama, KPU harus diposisikan hanya sebagai salah satu komponen penyelenggara, karena kelompok intinya adalah parpol peserta Pemilu. Itu agar Pemilu berintegritas seperti Pemilu 1955 dan
1999.

Kedua, jumlah kursi legislatif harus ditambah hingga totalnya dua kali lipat dari jumlah yang sekarang, untuk semua level. Untuk poin ini, jumlah yang sekarang biarkan diperebutkan oleh parpol dengan caranya sendiri, dengan penentuan harga satu suara sesuai pasar.

Selebihnya didistribusi tanpa Pemilu kepada organisasi-organisasi jihadis pendiri negara seperti Muhammadiyah (1912), NU (1926) dan lain-lain, organisasi berintegritas dan organisasi profesi.

“Dengan begitu, produk legislasi dan pengawasannya tak akan seburuk yang sekarang. Tak akan ada lagi produk legislasi deburuk UU Cipta Kerja, Revisi UU KPK dan semisalnya,” katanya.

Baca juga: KPUD Sumut Sudah Terima Tiga Berkas Bakal Calon DPD Pemilu 2024

Menurut Shohibul, solusi ini juga memastikan legislator tak lagi menjadi budak oligarki dan tak takut lagi mengevaluasi dan mengoreksi eksekutif seperti kebancian yang kita saksikan sekarang.

“Dari situ Indonesia bisa berharap bahwa nanti perjalanan pemerintahan dapat ditundukkan kepada cita-cita kemerdekaan, dan rezim tidak lagi menjadi budak oligarki,” tegasnya. Sebagaimana diketahui, PDIP memunculkan wacana sistem Pemilu proporsional
tertutup pada Pemilu 2024. (ial/hm09)

Related Articles

Latest Articles