10 C
New York
Friday, May 10, 2024

Ketika Mal di Kota Medan Tak Lagi Primadona

Plaza Online dan Rendahnya Daya Beli Memukul Pasar

Pukulan berat mulai dirasakan ketika mulai maraknya plaza online, sehingga masyarakat melakukan belanja online seperti e-commerce. Hal ini juga menjadi salah satunya faktor sehingga membuat mall menjadi lesu dan sepi.

Olympia Plaza yang sudah lama sepi,terlihat sejumlah toko yag tutup (f:bobby/mistar)

“Jadi berjalan waktu juga, kebutuhan-kebutuhan masyarakat ini bisa didapatkan melalui online. Inilah yang membuat penjual di mall turun,” imbuh Herry.

Namun, mall masih bisa bertahan lantaran adanya penjualan kuliner. Dicontohkannya masyarakat pemburu kuliner atau yang ingin menikmati kuliner bersama keluarganya ingin menikmati suasana.

“Gak selamanya mereka menggunakan online untuk pesan makan dan minuman. Mereka juga perlu beradaptasi. Tapi memang tidak bisa membuat kembali eksisnya mall. Berapalah itu kan,” bebernya.

Sehingga Herri menilai selain daya beli yang kurang, kondisi perekonomian masyarakat juga sekarang ini masih belum stabil. Itulah yang menyebabkan mall-mall mati dan ditinggalkan oleh konsumen atau pedagang yang tak mampu lagi membayar uang sewa.

“Sehingga kondisi sekarang lebih banyak yang terseok-seok dibandingkan yang eksis (hidup). Saat ini satu dua mall yang eksis dan bagaiamana mereka harus menyikapi kondisi ini,” jelasnya.

Untuk itu, diperlukan kreatif dan inovasi untuk membangkitkan lagi kehidupan di mall. Namun hal ini membutuhkan dana.

“Seperti di Plaza Millenium saat ini tengah melakukan renovasi total mengikuti kondisi zaman. Jadi, mall ini sekali lima tahun harus melakukan renovasi untuk mengikuti update atau kondisi sekarang. Harus mengencangkan promosi di media sosial harus ada online dan offline nya. Sebab kondisi lima tahun gaya berbelaja konsumen itu berbeda, kemudian keinginannya melihat suatu tempat yang baru masyarakat lebih senang. Intinya konsumen itu ingin dimanjakan,” jelasnya.

Belakangan ini, memang tingkat kunjungan ke pusat perbelanjaan atau mal mengalami penurunan. Bahkan sudah banyak pusat perbelanjaan yang sepi pengunjung dan sebagain juga sudah ditutup.

Namun, bila mengacu kepada data penjualan ritel di Tanah Air, yang dipublikasikan pada hari ini menunjukan bahwa data penjualan ritel naik 1,5 persen pada bulan September 2023.

Angka ini menurut Ekonom asal Sumatera Utara (Sumut), Gunawan Benjamin
masih mampu tumbuh walaupun memang bisa saja kenaikan tersebut belum mempertimbangkan inflasi. Sebab penjualan ritel sendiri banyak diakomodir oleh pusat perbelanjaan atau mall tadi.

“Jadi, bukan berarti masyarakat sudah tidak berbelanja lagi. Karena memang kehadiran pedagang online memicu terjadinya disrupsi pasar. Nah inilah yang menjadi pemicu utama kenapa banyak pusat perbelanjaan modern/ plaza/mall yang tutup,” kata Gunawan pada Mistar.

Dijabarkan Gunawan lagi, masyarakat justru juga sudah memiliki gaya hidup baru. Pandemi Covid-19 telah merubah tatanan sosial ekonomi masyarakat. Masyarakat dipaksa melakukan aktifitas dari dalam rumah dengan banyak mengandalkan smartphone untuk sebagian transaksi ekonomi.

“Sayangnya, disrupsi pasar yang terjadi belakangan ini juga diikuti dengan penurunan daya beli masyarakat. Alhasil masyarakat mengutamakan belanja kebutuhan utama (pokok) dibandingkan dengan kebutuhan lainnya,” sebutnya.

Padahal pusat perbelanjaan ini pada dasarnya menyasar masyarakat menengah ke atas. Akan tetapi, gempuran barang barang murah yang dibarengi dengan promo, sebelumnya sempat membanjiri pasar yang pada akhirnya masyarakat lebih banyak menjelajah di e-commerce maupun social commerce dibandingkan dengan jalan-jalan sambil belanja di pusat perbelanjaan.

“Disrupsi pasar saat ini memang tidak menghantam semua jenis pasar yang ada. Pasar tradisional yang menjual aneka kebutuhan pangan sehari-hari masih mampu bertahan hingga saat ini. Belanja secara online belum mampu menggeser kebiasaan masyarakat untuk menggunakan pasar tradisional,” ungkapnya.

Selanjutnya, rantai pasok barang saat ini juga berubah. Perubahannya semakin pendek, dimana rantai distribusi barang menjadi lebih efisien dibandingkan dengan sebelumnya. Saat ini, produsen bahkan bisa berjualan secara langsung ke konsumen. Tidak perlu melalui rantai pasok yang panjang seperti mengandalkan pedagang besar, distributor hingga pedagang pengecer.

“Sehingga harga yang dijual pun bisa lebih kompetitif. Ini menjadi tantangan besar bagi pusat perbelanjaan modern ke depan. Di mana struktur pasar sudah berubah dan memaksa siapapun yang ikut berbisnis didalamnya harus beradaptasi. Kalau tidak bakal terlindas arus perubahan zaman. Inovasi dibutuhkan di sini, jika ingin menyelamatkan pasar yang mulai ditinggalkan konsumennya,” terang Dosen UISU ini.

Sehingga dalam hal ini, menurut Gunawan lagi pusat perbelanjaan perlu mendapatkan perubahan radikal. Dari yang sebelumnya sebagai pusat perbelanjaan ke depan harus direvitalisasi dengan menjadi pusat perbelanjaan dan hiburan masyarakat. Hiburan disini bisa apa saja bentuknya.

Related Articles

Latest Articles