27.3 C
New York
Monday, April 29, 2024

IMF Ramalkan Resesi, Bursa Saham AS Tak Mampu Menjalar ke Asia

Jakarta, MISTAR.ID

Pandemi Covid-19 masih menjadi hal paling disorot investor. Sentimen corona masih sangat berpengaruh di awal perdagangan pagi hari ini, Rabu (15/4/20), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami apresiasi. Bahkan bursa saham Amerika Serikat (AS) tak mampu menjalan ke Asia.

Pada Rabu (15/4/2020) pukul 09.00 Wib, IHSG dibuka stagnan di level 4.706,49. Namun lima menit berselang atau tepatnya pada 09.05 WIB, IHSG bergerak menguat sebesar 0,38% ke 4.725,99.

Dini hari tadi ketiga indeks saham utama Wall Street menutup perdagangan dengan suka cita setelah berhasil finish di zona hijau. Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melonjak 2,39%, S&P 500 naik 3,1% sementara Nasdaq Composite meroket 4%.

Sumringahnya bursa saham AS tersebut, masih tidak mampu menjalar ke Asia. Bursa saham Benua Kuning pagi ini masih bergerak variatif dan tak kompak.

Pada 08.44 WIB, indeks Shang Hai Composite melemah tipis 0,02% dan Topix anjlok 0,48%.

Pada waktu yang sama indeks Hang Seng naik 0,26%, KLCI terangkat 0,48%, Straits Times terapresiasi tipis 0,02%, KOSPI meroket 1,72% dan Taiwan Weighted terangkat 0,58%.

Sentimen di pasar saham global masih sama saja dalam kurun waktu sebulan terakhir. Corona. Ya musuh tak kasat mata yang merampas hak hidup umat manusia di dunia ini adalah biang kerok bagi kekacauan yang terjadi sekarang.

Nyaris 2 juta orang di berbagai penjuru planet bumi sudah terinfeksi oleh virus yang diyakini berasal dari Wuhan, China ini. Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan jumlah orang yang terenggut jiwanya akibat menderita sakit terserang virus mencapai lebih dari 125 ribu jiwa per hari ini.

Sampai saat ini investor masih terus memantau setidaknya tiga hal. 1) Perkembangan kasus pandemi corona 2) Dampak dari keberadaan virus 3) Respons penanganan wabah yang dilakukan oleh berbagai negara di dunia.

Untuk poin pertama, jumlah pertambahan kasus baru infeksi corona secara global dalam kurun waktu empat hari terakhir cenderung turun. Pada 10 April 2020, tercatat ada tambahan 96,4 ribu kasus baru dalam sehari. Per 13 April 2020, jumlah kasus secara global bertambah 70,3 ribu.

Penurunan pertambahan jumlah kasus secara global ini memang menjadi berita positif. Namun ada hal yang perlu diwaspadai yakni fase perkembangan wabah di tiap negara berbeda-beda.

Di negara-negara seperti AS dan Eropa, bisa saja sudah mulai menurun pertambahannya. Namun di negara seperti India dan Indonesia lonjakan kasus signifikan masih terus terjadi.

Untuk poin kedua sendiri terkait dampak dari corona, semua sudah sepakat. Pandemi ini telah membuat rona perekonomian global bermuram durja. Rilis terbaru laporan Dana Moneter Internasional (IMF) mengkonfirmasi hal tersebut.

IMF mengatakan pandemi corona adalah sebuah fenomena “Great Lockdown” yang memicu terjadinya resesi global. Dalam laporannya itu, IMF mengungkap suramnya gambaran perekonomian dunia tahun ini.

Organisasi yang berbasis di Washington itu memperkirakan ekonomi global akan terkontraksi 3% pada 2020. Skenario ini masih mending.

Jika pandemi tak segera berhenti merebak hingga semester II 2020, maka kontraksi akan bertambah sebanyak 3 poin persentase (pp) menjadi -6%. Padahal, Januari lalu IMF masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia berada di angka 3,3% tahun ini.

“Kemungkinan besar tahun ini, ekonomi global akan mengalami resesi yang hebat sejak Great Depression, melampaui krisis keuangan global satu dekade lalu” kata Gita Gopinath, Kepala Ekonom IMF, melansir CNBC International.

“Ini adalah sebuah periode krisis di mana guncangan yang terjadi tidak dapat dikendalikan dengan kebijakan ekonomi mengingat kita tidak tahu kapan pandemi akan berakhir” tambahnya.

Dalam melawan corona, langkah yang diambil oleh berbagai negara di dunia setidaknya ada dua. Pertama melalui intervensi langsung pada sektor kesehatan dan kedua melalui kebijakan ekonomi (bauran kebijakan fiskal dan moneter).

Kebijakan berbagai negara di dunia dan bank sentral global untuk melawan corona memang membuat pasar saham cukup sumringah akhir-akhir ini. Walau risiko masih ada setidaknya sentimen membaik.

Bursa saham mulai membaik kala AS menggelontorkan stimulus fiskal US$ 2,2 triliun untuk menyelamatkan ekonominya. Tak sampai di situ The Fed selaku bank sentral Negeri Paman Sam juga membabat habis suku bunga acuan hingga kisaran 0-0,25%.

Belum mau kalah The Fed langsung mengeluarkan bazookanya dengan memulai program pelonggaran kuantitatif (QE) secara tak terbatas serta memberikan kredit lunak sebesar US$ 2,3 triliun untuk UKM AS.

Namun seberapa besar pun upaya yang dilakukan pemerintah dan bank sentral global tak akan bisa membuat kondisi berbalik arah. Kalau responsnya efektif paling-paling sifatnya hanya meredam saja.

Pandemi yang memicu lockdown besar-besaran membuat miliaran orang di dunia harus terkungkung di rumah dan menyebabkan penurunan produktivitas, terdisrupsinya rantai pasok global dan pelemahan permintaan membuat laju ekonomi jadi seret.

Indonesia pun menjadi negara yang juga terkena dampaknya. Apalagi jumlah kasus infeksi corona di Tanah Air saat ini baru menunjukkan adanya lonjakan signifikan.

Untuk meredam transmisi penyebaran virus, daerah Jabodetabek telah mengantongi izin untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) hingga kurun waktu dua pekan ke depan.

Untuk meredam dampak perekonomiannya, Pemerintah berupaya menggelontorkan stimulus senilai Rp 405,1 triliun atau nilainya lebih dari 2% PDB RI. Bank Indonesia juga sudah memangkas suku bunga acuan hingga ke level 4,5%.

Kemarin BI tetap mempertahankan suku bunga acuan pada level tersebut. Namun Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan stance kebijakan BI masih longgar. Ada ruang untuk pemangkasan suku bunga seiring dengan laju inflasi domestik yang rendah dan kebutuhan untuk mendorong perekonomian.

BI saat ini fokus untuk menjaga stabilitas dengan meningkatkan intensitas triple intervention di pasar spot, DNDF dan pembelian SBN di pasar sekunder. Selain itu BI juga telah melakukan pelonggaran kuantitatif senilai Rp 300 triliun yang nilainya ke depan masih berpotensi untuk bertambah lagi.

Namun di sisi lain, investor juga masih menyoroti penanganan wabah di dalam negeri. Hal yang perlu dicermati adalah masih adanya perbedaan pandangan antara pemerintah pusat dan daerah soal upaya penanganan.

Selain itu efektivitas penanganan pandemi corona di Tanah Air juga masih dipertanyakan mengingat lonjakan kasus makin tinggi serta tingkat mortalitasnya yang juga tinggi.

Walau menguat pagi ini, bagaimanapun juga bursa saham RI masih mengalami tekanan jika berkaca di sepanjang tahun ini. Data BEI menunjukkan IHSG telah terperosok 25,29% sepanjang tahun ini.

Walau IHSG sudah mengalami pemangkasan koreksi, indeks bursa saham dalam negeri masih menjadi yang terburuk kedua di Asia Tenggara setelah Filipina (-26,03% ytd) dan terburuk ketiga di kawasan Asia Pasifik setelah India (-25,61% ytd).

Investor asing pun masih jaga jarak dengan bursa saham RI. Hal ini tercermin dari aksi jual bersih yang dibukukan oleh asing mencapai Rp 12,75 triliun sejak awal tahun. Jika tak ada tanda-tanda efektivitas kebijakan yang muncul, maka bukan tak mungkin saham-saham RI akan ditinggalkan oleh investornya lagi.*

Sumber : CNBC Indonesia
Editor : Herman

Related Articles

Jual Saham Teknologi, Bursa AS Mendatar

Latest Articles