Saturday, March 15, 2025
home_banner_first
EDUKASI

Babiat Sitelpang, Harimau yang Dianggap Ompungnya Orang Batak

journalist-avatar-top
Jumat, 14 Maret 2025 21.46
babiat_sitelpang_harimau_yang_dianggap_ompungnya_orang_batak

Harimau Sumatera (Foto: Restorasi Ekosistem Riau/Rekoforest.org)

news_banner

Pematangsiantar, MISTAR.ID

Suatu waktu, di daerah Jambi, seekor Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) terbunuh. Kebetulan, di daerah itu banyak orang Batak bermukim. Mereka lalu membungkus harimau mati itu dengan kain ulos dan melakukan ritual adat untuk menguburkannya.

Dulu, bagi masyarakat Batak harimau adalah binatang yang sangat dihormati. Bahkan di desa-desa yang dekat dengan hutan, biasanya orang takut menyebut kata harimau. Orang sering mengatakan dengan sebutan “ompungi”, yang artinya kakek atau buyut.

Bahkan di Mandailing, jika kita berani mengatakan kata harimau walaupun sedang bercerita, itu sama dengan mengundang ompungi datang ke kampung kita.

Kenapa Harimau Sangat Dihormati Orang Batak?

Ada beberapa versi yang menceritakan legenda harimau ini di tanah Batak. Satu versi menyebutkan berawal dari keturunan si Raja Batak yang melahirkan kembar laki-laki dan perempuan yakni Si Boru Pareme dan Saribu Raja.

Meski keduanya kembar, mereka saling jatuh cinta dan melakukan hubungan incest. Akibat perbuatannya itu, keduanya lantas diusir keluar kampung. Si Boru Pareme dibuang ke hutan dan Saribu Raja diasingkan ke tempat lain.

Di hutan, Si Boru Pareme tinggal sendiri. Setiap hari ia meratapi hidupnya, sehingga membuatnya jatuh sakit. Raja Uti (saudara tertuanya yang juga diasingkan ke hutan karena bentuk fisiknya sejak lahir cacat) menjadi kasihan. Raja Uti lantas mengutus seekor harimau membantu Si Boru Pareme. Harimau itu menyediakan makanan dan menjaga keselamatan Si Boru Pareme dari binatang buas yang ada di hutan.

Cerita menyebutkan sebenarnya Raja Uti yang punya kesaktian mandraguna itulah yang menjelma menjadi seekor harimau. Raja Uti yang memang sejak lahir sudah cacat, mewujud menjadi harimau. Namun karena dia cacat maka ketika menjelma menjadi harimau, juga terlihat seperti harimau pincang. Itu sebabnya bagi orang Batak harimau tersebut dinamai Babiat Sitelpang atau harimau pincang.

Raja Lontung

Versi lainnya yang hampir serupa namun sedikit berbeda. Si Boru Pareme dan Saribu Raja melakukan hubungan incest dan membuat Si Boru Pareme hamil. Keduanya lalu dibuang ke hutan yang terpisah.

Nah, ketika dibuang ke hutan itu, Si Boru Pareme didekati seekor harimau yang lagi kesakitan karena sebatang tulang sisa buruannya menancap di kerongkongan. Si Boru Pareme iba hatinya. Dia lalu membantu si harimau mengeluarkan tulang tersebut.

Sejak itulah, terjalin persahabatan yang erat antara mereka berdua. Si harimau, membalas rasa terima kasihnya dengan mengantar hasil buruan ke tempat Si Boru Pareme secara teratur. Bahkan, ketika Si Boru Pareme akan melahirkan, si harimau ini juga yang membantunya.

Anak yang dilahirkan Si Boru Pareme diberi nama Raja Lontung. Anak-anak dari Raja Lontung yang jumlahnya sembilan orang kelak menjadi marga besar suku Batak.

Sejak Si Boru Pareme bersahabat dengan harimau tersebut, ada semacam kesepakatan bahwa harimau tidak akan memakan keturunan Si Boru Pareme.

Itu sebabnya zaman dulu kalau orang Batak ketemu harimau, orangtua kita mengajarkan agar jangan takut, cukup dengan mengatakan, "Lontung do au Ompung! (Aku ini Lontung Kakek)," maka harimau tidak akan menyerang kita.

Cerita ini hidup dalam kebudayaan orang Batak selama ratusan tahun. Bertransformasi dan mewujud menjadi nilai-nilai sosial, budaya, dan kearifan lokal.

Dulu, ketika mau memasuki hutan atau membuka perladangan, orang Batak terlebih dulu meminta izin kepada Babiat Sitelpang yang dianggap penguasa wilayah. "Sattabi Ompung, lao mamolus hami di ingananmon (permisi Ompung, kami mau lewat dari tempatmu ini)," demikian sering diucapkan ketika melewati sebuah hutan.

Tingginya penghormatan orang Batak terhadap harimau menjadikan karakter harimau juga diidentikan dengan karakter orang Batak yang keras, penolong, pelindung, setia berteman, dan melambangkan kekuatan.

Mossak atau seni beladiri orang Batak juga diidentikan dengan cara bertarung harimau.

Harimau Cukup Beradat

Nenek moyang Batak Mandailing mengakui bahwa harimau cukup beradat. Dia tak akan mengganggu orang yang tak ada salahnya. Kata orang tua dulu, bila bertemu dengan harimau, kita lebih baik diam daripada lari. Karena jika kita berlari, dia akan beranggapan kita punya salah.

Dan adat harimau ini, terlihat ketika musim durian di tanah Mandailing. Jika kita sedang menjaga durian di malam hari menunggu durian runtuh, sebaiknya kita jangan mengambil semua hasilnya. Kita meninggalkan sebagian untuk harimau. Kalau tidak, dìa nantinya akan mengaum dari balik rimba. Demikian juga sebaliknya. Bila harimau ini yang sampai duluan, diapun tak akan mengambil semua. Dia akan meninggalkan bagian untuk kita.

Cerita dari sesepuh Mandailing, jika ada harimau masuk kampung, biasanya karena telah ada seseorang yang berbuat dosa di kampung tersebut. Contohnya, bila ada yang berbuat zina di satu kampung biasanya harimau akan berkeliaran di desa itu selama hampir seminggu. Semua orang yang tinggal di perkampungan tahu tentang hal ini.

Desni Khoirunnisa Daulay mengakui sampai saat ini cerita harimau tersebut masih sangat kental di daerahnya di Kabupaten Padang Lawas.

Hal yang sama disampaikan Rizal Hasibuan. Dia mengatakan legenda ini masih berlaku hingga saat ini di masyarakat Kecamatan Ulu Barumun dan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas.

“Masyarakat sangat paham akan hal ini. Malah cerita masyarakat yang biasa di hutan masih sangat sering ketemu (harimau), malah sempat papasan namun keduanya sangat saling menghargai. Salah satunya paling pindah arah jalan atau balik arah,” kata Rizal.

Menurutnya, hubungan antara manusia dan harimau di daerahnya masih berlangsung baik sampai saat ini terutama di perkampungan. Saat musim durian, harimau sering datang dan meminta bagian.

Masyarakat yang pekerjaannya menangkap ikan malam hari, masih sering didatangi harimau untuk meminta ikan dengan menampakkan diri atau memberi tanda keberadaannya. “Anehnya, cerita saudara kita, jangan langsung dikasih (ikan). Udah selesai, mau pulang, baru dikasih. Artinya karena penampakannya atau memberi tanda keberadaannya kita belum dapat ikan, makanya dikasih setelah selesai,” ujar Rizal.

Hal yang unik, kata Rizal, oppui atau harimau itu tetap menunggu dengan sabar hingga akhirnya dikasih dua atau tiga ekor ikan menyesuaikan dengan hasil tangkapan atau pancingan.

Rizal mengatakan masyarakat Ulu Barumun dan Sosopan sampai saat ini masih bersahabat baik dengan harimau.

Begitulah cerita yang melegenda tentang harimau atau Babiat Sitelpang di tanah Batak. Sayangnya, tak banyak lagi yang mengetahui cerita ini dan lebih ironisnya lagi, harimau menuju ambang kepunahan karena terus diburu dan hutan sebagai rumahnya mulai hilang. []

REPORTER:

RELATED ARTICLES