Bagaimana Pengaruh Paus Fransiskus dan Gereja Katolik di Dunia?


Umat Katolik mengenakan pakaian tradisional Jawa mempersiapkan prosesi Misa Natal. (f: getty images/mistar)
Jakarta, MISTAR.ID
Dengan lebih dari 1,4 miliar penganut di seluruh dunia—sekitar 17% dari populasi global—Gereja Katolik tetap menjadi salah satu kekuatan paling berpengaruh di dunia. Sebagai pemimpin spiritual tertinggi, Paus Fransiskus tak hanya memiliki pengaruh religius, tetapi juga politik dan sosial yang melintasi batas negara.
Pada 2024, pengaruh itu terlihat jelas saat Paus Fransiskus melakukan tur ke Asia. Di Timor-Leste, hampir separuh penduduk menghadiri misa terbuka yang dipimpinnya. Sementara di Jakarta, puluhan ribu umat Katolik menghadiri Misa Akbar di Stadion Gelora Bung Karno (GBK). Banyak yang datang dari berbagai daerah, meski tidak sedikit yang gagal mendapatkan tiket masuk stadion.
Kehadiran massa dalam jumlah besar bukan hal baru. Pada 2023, lebih dari satu juta orang berkumpul di Bandara Kinshasa, Republik Demokratik Kongo, untuk mengikuti misa yang dipimpin Paus. Jumlah dan semangat seperti itu mencerminkan besarnya pengaruh Vatikan dalam kehidupan publik dunia.
Namun, pengaruh Paus melampaui mimbar gereja. Ia juga menjabat sebagai kepala negara Kota Vatikan dan pemimpin Takhta Suci—entitas yang diakui sebagai subjek hukum internasional, dengan hubungan diplomatik penuh dengan 184 negara dan Uni Eropa. Takhta Suci juga memiliki status Pengamat Permanen di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memungkinkan partisipasi aktif dalam berbagai forum global.

Misa Akbar di GBK, Jakarta. (f: reuters/mistar)
Salah satu contoh intervensi internasional yang signifikan adalah ketika Paus Fransiskus mengkritik keras “ketidakpedulian sombong” negara-negara kaya menjelang Kesepakatan Iklim Paris 2015. Seruannya mendapat sambutan hangat, terutama dari negara-negara Global South, dan turut mendorong tercapainya kesepakatan penting tersebut.
Namun tidak semua langkah Gereja mendapat dukungan. Pada KTT Iklim PBB 2024, Takhta Suci bersama negara-negara konservatif seperti Arab Saudi, Rusia, dan Iran menentang penyebutan kelompok perempuan transgender dalam teks kesepakatan yang bertujuan mendukung perempuan di garis depan perubahan iklim. Meski menuai kritik, tindakan tersebut menunjukkan bagaimana Gereja masih memegang peran dalam memengaruhi kebijakan global.
Diplomasi dan Demokrasi
Vatikan juga dikenal sebagai mediator dalam konflik geopolitik. Pada 2014, Presiden AS Barack Obama dan Presiden Kuba Raúl Castro mengucapkan terima kasih kepada Paus Fransiskus atas perannya dalam menormalisasi hubungan kedua negara.
Namun, kontribusi Gereja yang paling berpengaruh dalam 25 tahun terakhir, menurut Profesor Daved Hollenbach dari Berkley Center, adalah dalam mendukung transisi menuju demokrasi. Ia menyebut Konsili Vatikan II pada 1960-an sebagai titik balik Gereja dalam membela hak asasi manusia dan kebebasan beragama.

Laki-laki asli Papua memegang foto Paus Fransiskus di depan Kedutaan Besar Vatikan di Jakarta. (f: AFP/mistar)
Mengutip karya ilmuwan politik Samuel Huntington, Hollenbach menyatakan bahwa “tiga perempat negara yang bertransisi dari otoritarianisme ke demokrasi memiliki pengaruh Katolik yang kuat.” Dari Spanyol dan Portugal, gerakan itu menyebar ke Amerika Latin, Asia Timur, dan akhirnya memengaruhi kejatuhan Uni Soviet.
Tantangan di Era Modern
Namun, tidak semua pemimpin Katolik mengikuti arahan Paus. Wakil Presiden AS JD Vance, misalnya, menggunakan teologi untuk membenarkan kebijakan imigrasi yang keras. Paus pun menanggapinya dengan menyatakan bahwa Yesus sendiri adalah seorang pengungsi—pernyataan yang langsung ditanggapi sinis oleh beberapa pejabat AS.
Di Brasil, Presiden Jair Bolsonaro juga pernah mengecam Paus setelah Fransiskus meminta perlindungan hutan Amazon dan masyarakat adat. “Paus mungkin orang Argentina, tetapi Tuhan adalah orang Brasil,” ujarnya.
Pengaruh sosial Gereja juga menurun di Eropa Barat, terutama karena sikap konservatifnya terhadap isu-isu seperti LGBT+, kontrasepsi, dan aborsi. Penolakan terhadap perempuan menjadi imam atau diakon turut menjadi sumber kritik yang makin mengemuka.

Paus Fransiskus setelah memimpin Misa terbuka di Timor Leste pada 2024. (f: getty images/mistar)
Baca Juga: Presiden Prabowo Subianto Kenang Paus Fransiskus: Panutan Dunia dalam Perdamaian dan Kemanusiaan
Di Amerika Latin, dominasi Katolik mulai tergeser oleh gerakan Kekristenan Evangelis. Negara-negara seperti Uruguay, Meksiko, Argentina, dan Kolombia telah melonggarkan undang-undang aborsi—berlawanan dengan ajaran Gereja.
Krisis pelecehan seksual yang melibatkan para klerus dan upaya Gereja menutup-nutupinya juga terus mencoreng reputasi globalnya.
Pengaruh Paus Tetap Nyata
Terlepas dari tantangan tersebut, posisi Paus Fransiskus sebagai pemimpin spiritual global dan kepala negara membuatnya tetap relevan dalam percaturan dunia. Dari mencium kaki pihak bertikai di Sudan Selatan hingga mengunjungi kamp pengungsi di Yunani, tindakan Paus sering kali menjadi simbol harapan dan rekonsiliasi.
Selama Gereja Katolik tetap menjadi fondasi spiritual bagi lebih dari satu miliar orang, pengaruhnya dalam membentuk wacana global akan terus terasa—baik di altar, ruang diplomasi, maupun ruang publik internasional. (mtr/hm24)