Tuesday, April 15, 2025
home_banner_first
MEDAN

Sejauh Mana Esensi RUU Polri? Begini Kata Akademisi

journalist-avatar-top
Sabtu, 12 April 2025 12.40
sejauh_mana_esensi_ruu_polri_begini_kata_akademisi

Ilustrasi. (f:ist/mistar)

news_banner

Medan, MISTAR.ID

Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor, menilai esensi dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Polri sebagai perluasan kewenangan berlebihan dan mengurangi kebebasan sipil.

“Saya melihat setidaknya ada empat pemicu kontroversi seputar RUU Polri yang sedang dibahas,” ucapnya pada Mistar, Sabtu (12/4/2025).

Dosen Kesejahteraan Sosial FISIP UMSU itu mengatakan, hal pertama pemicu tersebut adanya pengawasan dan pemblokiran ruang siber.

“RUU ini memberikan kewenangan kepada Polri untuk melakukan pengamanan, pembinaan, dan pemblokiran akses ruang siber dengan alasan keamanan dalam negeri. Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait kebebasan berekspresi dan hak atas privasi,” kata Shohibul.

Menurutnya, hal kedua pemicu kontroversi tersebut akibat penyadapan dan Intelijen. Polri diberikan kewenangan untuk melakukan penyadapan tanpa mekanisme pengawasan yang jelas.

“Hal Ini berpotensi melanggar hak asasi manusia dan membuka ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia,” ujarnya.

Lebih lanjut, kata Shobiul, hal ketiga pemicu tersebut meliputi perpanjangan usia pensiun. Sehingga kebijakan tersebut berpotensi menghambat regenerasi kepemimpinan dalam institusi kepolisian.

“RUU ini mengusulkan perpanjangan usia pensiun anggota Polri hingga 65 tahun untuk jabatan fungsional. Akibatnya, regenerasi pada institusi Polri terhambat,” katanya.

Sambung Shohibul, pemicu Keempat merupakan minimnya partisipasi publik. Proses legislasi RUU ini dinilai kurang transparan dan minim pelibatan masyarakat.

“Banyak pihak, termasuk akademisi dan organisasi masyarakat sipil, mendesak agar pembahasan dilakukan secara lebih terbuka. Namun hal tersebut malah bertolak dengan sebaliknya,” ucapnya.

Ia menuturkan, masalah inti Polri saat ini adalah meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dan optimalisasi penggunaan teknologi. Selain itu, pendekatan berbasis komunitas, perbaikan dalam pelatihan dan pendidikan.

“Polri harus fokus pada penegakan hukum yang adil dan konsisten, sehingga terciptanya peningkatan kesejahteraan aparat,” tuturnya.

Selain itu, Shohibul menjelaskan ada kegagalan Polri mengidentifikasi dirinya sebagai orang sipil sejak dipisahkan dari TNI pada zaman BJ Habibie. Akibatnya hal itu nyaris tidak ada progres.

“Tidak mesti berlagak militer dengan istilah dan simbol militer. Kepolisian itu orang sipil yang memang dipersenjatai. Mestinya urusan polisi itu terpisah dari TNI. Namun Polisi Indonesia memiliki pasukan combatan, itulah Brimob,” ucapnya. (ari/hm25)

REPORTER:

RELATED ARTICLES