Friday, January 24, 2025
logo-mistar
Union
MEDAN

Direktur Eksekutif Yayasan Bitra Indonesia Soroti Kebijakan Hentikan Impor Pangan

journalist-avatar-top
By
Friday, January 24, 2025 14:36
36
direktur_eksekutif_yayasan_bitra_indonesia_soroti_kebijakan_hentikan_impor_pangan

Direktur Eksekutif Yayasan Bitra Indonesia Rosdiana. (f: amita/mistar)

Indocafe

Medan, MISTAR.ID

Direktur Eksekutif Yayasan Bitra Indonesia, Rosdiana, mengatakan keputusan Presiden Prabowo Subianto menghentikan impor bahan pangan, yaitu beras, jagung, gula, dan garam dinilai sudah bagus.

Di sisi lain, Rosdiana, juga mengakui keputusan tersebut sangat ekstrem di tengah komitmen pemerintah dengan swasembada pangan yang belum jelas.

"Pesimis! Ketika pejabat baru dipilih, semua kebijakan bagus dibuat menjadi mimpi. Ada tiga kebijakan ekstrem pemerintahan Prabowo yang kadang-kadang membuat pesimis," katanya di Podcast 'Mo Tau Aja' Mistar TV, di Jalan Kejaksaan No.5EE, Kota Medan, pada Jumat (24/1/25).

Menurut Rosdiana, meski kebijakan tersebut terlihat populis, tapi hingga saat ini implementasinya masih kurang. Salah satunya adalah menghentikan impor empat komoditas tanpa melihat latar belakangnya.

"Lalu menghapus utang Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dan memangkas anggaran perjalanan dinas lebih dari 50 persen. Menurut saya, ini kebijakan yang sangat ekstrem," ucapnya.

Kendala kebijakan ini, menurut Rosdiana, adalah bagaimana pemerintah dapat mengimplementasikannya.

"Ini kan tidak hanya omong doang. Tapi bagaimana regulasinya, pembiayaan, tim implementasi di lapangan, semua harus dipikirkan. Makanya saya pesimis," jelasnya.

Selama ini, menurut Rosdiana, belum ada petani yang sukses, tapi sebaliknya malah yang harus terjerat utang ke rentenir, gagal panen, dan harga gabah rendah.

"Luas lahan pertanian di Sumatera Utara (Sumut) ada 647.223 hektar, hanya 50 persen yang dapat dikelola petani. Sementara itu, jumlah petani pengguna 1.434.000. Karena itu, petani di Sumut hanya memiliki lahan sebesar 0,25 hektar per orang atau lima rantai atau 2.000 meter," tuturnya.

Dengan kalkulasi biaya produksi untuk satu rantai Rp400.000, hasil panen di luar faktor cuaca sekitar Rp800.000 per rantai dengan masa panen 4 bulan, petani hanya memperoleh penghasilan sekitar Rp1.500.000 selama 4 bulan.

Diketahui, pemerintah mulai menggelontorkan sekitar 1,1 ton gula, sekitar 2 juta lahan sudah disiapkan di seluruh Indonesia.

Menanggapi hal ini, Rosdiana mengatakan, realisasi swasembada pangan tergantung pengelola.

"Karena dulu ada kebijakan tentang food estate. Tapi karena pengelolaannya salah dan tidak partisipatif, maka tak berhasil. Saya belum melihat keseriusan pemerintah mencapai swasembada pangan," tuturnya.

Menurutnya, pengelolaan tersebut masih berhubungan dengan bisnis.

"Bagi kami petani lebih penting. Tapi kalau cerita bisnis, memang ekspor lebih menguntungkan dibanding memfasilitasi petani," sambungnya.

Ia juga menekankan perlunya penguatan regulasi, pengawasan dari sisi masyarakat, dan pelaksanaan yang benar di tingkat petani.

"Agar dapat tercapai swasembada pangan tersebut," lanjutnya.

Pemerintah juga, kata Rosdiana, harus siap secara ekonomi untuk mencapai swasembada pangan.Terutama soal subsidi pupuk, bibit, dan lainnya.

Walaupun pemerintah sudah menggelontorkannya, tapi sebagian besar petani masih sangat susah mengakses pupuk subsidi.

"Terutama petani kecil, akses subsidi pupuk, pestisida, bibit, alat-alat pertanian. Wacana swasembada pangan harus disambut dengan baik walau awalnya saya pesimis," katanya.

Jika Indonesia hendak mencapai swasembada pangan, Rosdiana berpendapat, petani harus memiliki lebih dari satu hektar lahan. (amita/hm20)

journalist-avatar-bottomRedaktur Elfa Harahap

RELATED ARTICLES