Dampak Intervensi Pebisnis atas Lahan dan Laut, Masyarakat Adat jadi Miskin
PI menggelar sarasehan masyarakat adat budaya Melayu (f:ist/mistar)
Medan, MISTAR.ID
Lahan dan hutan yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat adat saat ini telah rusak dan diintervensi oleh para pebisnis dan meninggalkan nilai-nilai konservasi.
Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Yayasan Pusaka Indonesia (YPI), Mitra Lubis, saat menggelar Sarasehan Adat Budaya Melayu Masyarakat Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara, yang bekerjasama dengan Tifa Foundation dan aliansi masyarakat.
Menurutnya, kerusakan ini menyebabkan hilangnya area sumber kehidupan masyarakat adat, baik lahan pertanian maupun kelautan.
Mitra juga mengungkapkan bahwa hilangnya area pertanian dan kelautan membuat masyarakat adat semakin miskin dan terpinggirkan, terutama terkait dengan konflik pertanahan yang belum juga terselesaikan dengan baik.
Baca Juga: Pembongkaran Pintu Kontrol Air, Ratusan Hektar Lahan Pertanian di Gunung Maligas Terancam Kering
“Selain gangguan ekonomi, hilangnya tanah komunal dan kawasan pesisir masyarakat adat juga membuat mereka terpisah dari komunitasnya,” katanya melalui keterangan tertulis yang diterima Mistar.id, Sabtu (18/1/25).
Struktur kepemimpinan adat yang dulu dipimpin oleh kepala kampung atau Datok, kini tidak lagi berfungsi dan tergantikan oleh kepala desa.
Beberapa komunitas yang tersisa kini berjuang untuk mempertahankan tanah mereka yang semakin terancam.
“Mereka bertahan dan melawan pihak-pihak yang mengusir dari tanah komunalnya,” tambahnya.
Koordinator Program YPI, Marjoko, menegaskan perlunya rekomposisi, penguatan struktur masyarakat adat dan perjuangan untuk mendapatkan kembali tanah komunal yang telah lama menjadi hak mereka.
Menurutnya, ini adalah bagian dari tujuan bernegara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
Berdasarkan kesepakatan bersama, Mufakat Masyarakat Adat Melayu Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara menghasilkan 14 kesepakatan untuk bisa berdaulat dalam kehidupan, mandiri dalam ekonomi, bermartabat secara budaya.
“Dan menjawab tantangan ini maka diperlukan kebersamaan yang kokoh untuk bergerak bersama,” pungkas Joko.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Tifa Foundation, Oslan Purba, mengapresiasi upaya YPI dan masyarakat adat Melayu. Menurutnya, dalam mengelola tanah, masyarakat adat Melayu selalu memperhatikan nilai-nilai konservasi.
“Menjadikan eksistensi masyarakat sebagai ujung tombak dalam menjaga kelestarian lingkungan, namun saat ini makin tergusur oleh berbagai konflik,” tuturnya.
Ia berharap, kesepakatan yang tercapai tidak hanya berhenti di atas kertas. Implementasi nyata, persatuan yang kuat dan koordinasi dengan pemerintah menjadi kunci untuk perjuangan ini.
Kegiatan yang berlangsung di gedung Peradilan Semu Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, pada Sabtu (18/1/25) ini, dihadiri 250 orang dari berbagai komunitas masyarakat melayu di empat wilayah kesultanan, Langkat, Deli, Serdang, Asahan dan akademisi, praktisi budaya serta LSM.
Sarasehan ini juga menghadirkan sejumlah narasumber. Prof. Dr. Hasim Purba, yang membahas "Tanah Ulayah Perspektif Konstitusi", sementara Dr. Tengku Mira Sinar, menyampaikan materi tentang "Adat Budaya Melayu dan Jati Diri Masyarakat Adat Melayu". Rajalul Halimi Harisun, yang mengulas isu terkait "Konservasi Mangrove sebagai Ruang Hidup Komunitas Melayu". (susan/hm17)