Pematangsiantar, MISTAR.ID
Di tengah hiruk-pikuk Kota Pematangsiantar, setiap sore suara roda gerobak biru milik wanita lansia, Saini (72), terdengar menyusuri Jalan Gunung Sinabung, Jalan Simarjarunjung hingga Jalan Narumonda Bawah.
Lewat gerobak ini, Saini menjajakan pecel khas Siantar, lengkap dengan mie gomak, gorengan, dan kue basah.
Ditemui mistar di Jalan Simarjarunjung, Kamis (5/12/2024), Saini bersama anaknya Sri (47) tengah menjajakan dagangan dengan senyum ramah, meski cuaca tampak mendung.
Baca juga:Membangun Usaha Warung Pecel, Ketergantungan Berubah Menjadi Kemandirian
Bagi perempuan yang akrab disapa Nek Saini ini, berjualan pecel bukan sekadar pekerjaan, tetapi bagaimana cara menjaga asa dan bertahan hidup.
“Nenek sudah lama jualan, sudah lebih 30 tahun nenek keliling jualan pecel,” kenangnya mengawali cerita.
Di usia yang sudah senja, ia tetap bersemangat mendorong gerobaknya setiap sore. Hujan atau panas, Saini tetap mendorong gerobaknya menjajakan dagangannya.
“Kehujanan sudah biasa. Selama masih sehat, saya ingin terus berjualan,” tuturnya bersahaja.
Sang suami yang bekerja sebagai kuli panglong tak lagi mampu sepenuhnya memenuhi kebutuhan keluarga. Anak-anaknya pun sedang berjuang di tengah ekonomi yang sulit.
Baca juga:Nasi Pecel Santan Segar Gurih Mantul
“Makanya, saya nggak mau bergantung. Selama masih bisa, saya usaha sendiri,” lanjut Saini sambil membungkus pecel pesanan pelanggan.
Sementara Sri, sang putri ikut mendampingi sang ibunya selama lima tahun terakhir.
Sebelumnya, ia berjualan di kantin kantor Bupati Simalungun lama di Jalan Asahan, kemudian berhenti dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Sri membantu ibunya karena kondisi penglihatan Saini sudah mulai memburuk.
Pecel khas Siantar buatan Nek Saini dikenal karena bumbu kacangnya yang otentik. Semua bumbu diracik sendiri, tanpa kompromi.
Baca juga:Komisi III Ultimatum Pemko Siantar Selesaikan Perkara Bangunan di Jalan Pane
“Yang penting itu rasa. Garam, gula, semuanya harus pas,” ungkapnya.
Resep ini ia pelajari dari ibunya, yang juga seorang pedagang pecel. Menu yang ditawarkan pun beragam. Pecel seharga Rp6.000, mie bumbu kacang Rp5.000, serta gorengan dan kue basah mulai dari Rp1.000.
Dengan modal sekitar Rp300.000 per hari, jika dagangan habis, mereka bisa mendapatkan keuntungan Rp500.000 hingga Rp600.000.
Namun, bagi mereka, kelezatan tak hanya soal rasa. Keramahan adalah bagian penting dari pelayanan.
Baca juga:Pandemi, Ratusan UMKM Di Surabaya Mampu Bertahan
“Pembeli senang karena saya suka senyum dan cerita. Itu juga rezeki buat saya,” sambung Saini sembari tersenyum.
Sejak gadis, Saini telah terbiasa membantu ibunya berjualan. Kini, meski sudah lanjut usia, semangatnya tak pernah pudar.
“Selama masih sehat, saya akan terus berjualan. Ini cara saya memenuhi kebutuhan tanpa merepotkan siapapun,” katanya.
Baca juga:Pembangunan Warung Pecel Lele Serobot Aset Pemprov Sumut, Baren Purba: Saya Tau Sejarahnya
Cuaca yang tak menentu seringkali menjadi tantangan, tapi Saini tak pernah mengeluh. Setiap sore mulai pukul 14.30 WIB hingga dagangan habis atau menjelang maghrib, ia terus berkeliling menjajakan pecel.
Meski sederhana, pelanggan mereka datang karena rasa bumbu kacang yang khas dan harga yang bersahabat. Tak jarang, mereka juga menerima pesanan untuk acara-acara pengajian atau arisan.
“Bumbu kacangnya beda, khas banget. Harga juga terjangkau,” puji seorang perempuan yang mengaku sebagai pelanggan setia Saini.
Harapan Nek Saini cukup sederhana. Tetap sehat agar bisa terus berjualan dan menghidupi keluarga. “Semoga nenek bisa terus berjualan dan melayani pembeli,” tutupnya. (hany/hm17)